KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagai agama yang terlahir dalam keadaan sempurna, Islam tidak pernah menyesuaikan nilai-nilai ajarannya dengan perkembangan sejarah. Mana yang halal dan mana yang haram, dari sejak wahyu turun sampai hari kiamat nanti, tetap tidak akan berubah. Ketetapan nilai-nilai ini berimplikasi pada konsep pendidikan Islam yang tidak pernah berubah-ubah madzhabnya dari intelektual, emosional, spiritual, materialisme, idealisme, dan seterusnya. Konsep pendidikan Islam sudah jelas dari sejak ia lahir dan akan terus tetap sampai hari kiamat nanti.
Istilah pendidikan merupakan terjemahan darieducation (bahasa Inggris).Istilah education itupun merupakan terjemahan dari bahasa Yunani kuno dan Latin paidagoge atau paedagogia;gabungan dari kata ‘paides’ artinya anak-anak dan ‘agoge’ artinya menuntun. Sebuah kegiatan pendidikan untuk anak-anak dan kemudian mencakup pula pendidikan kebudayaan dan keilmuan.Orang Jerman kemudian menyebutnya erziehung untuk pendidikan anak-anak dan bildung untuk pendidikan kebudayaan dan keilmuan.Orang Prancis memakai istilah enseignement.Orang Italia memakai istilah insegnemento.Sementara orang Inggris dan Amerika memilih istilah education.
Dalam Encyclopedia of Education yang disunting oleh James W. Guthrie, dijelaskan bahwa pendidikan pada intinya merupakan kegiatan dan proses dalam rangka menumbuh-kembangkan berbagai potensi (kemampuan, keterampilan, pengetahuan, keyakinan, sikap mental dan karakter) manusia dengan cara-cara tertentu. Pendidikan bisa berlangsung secara formal atau informal, diselenggarakan oleh lembaga swasta atau pemerintah, oleh individu atau masyarakat.
Dari pengertian di atas, terlihat bahwa manusia merupakan titik sentral pendidikan.Manusia merupakan objek utama dan satu-satunya dari aktivitas pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir, dari sejak zaman Yunani, pendidikan memang sudah diarahkan untuk membantu manusia menjadi manusia. Manusia yang diharapkan dari model pendidikan Yunani itu sendiri adalah (1) memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, (2) cinta tanah air, dan (3) berpengetahuan (Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 33).
Walaupun titik sentral dari pendidikan itu adalah manusia, tetapi dalam praktiknya, menurut Wan Mohd.Nor Wan Daud, pendidikan sering ditujukan bukan untuk mengembangkan potensi manusia secara murni. Dalam analisa Wan Daud, pada praktiknya terdapat dua pandangan mengenai tujuan pendidikan:
Pertama, berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Dengan kata lain, peserta didik harus mengikuti kemauan penguasa dan sistem yang berlaku di masyarakat.
Kedua, lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan pada kebutuhan, daya tampung, dan minat pelajar. Terdapat dua model dari pendidikan yang berorientasi individu ini: (1) peserta didik diarahkan untuk meraih kebahagiaan duniawi dalam bentuk kemapanan sosial-ekonomi dan (2) peserta didik diarahkan untuk meningkatkan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwanya sesuai dengan keunikan masing-masing.
Wan Daud menjelaskan, secara umum, sistem pendidikan yang diterapkan di Negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan. Pandangan ini dianut oleh aliran Perenial atau aliran Transmisi Kebudayaan yang sering dihubung-hubungkan dengan Plato, beberapa sarjana modern, seperti William T. Harris, Roberts Hutchins, dan Adler di Amerika Serikat, serta aliran Rekonstruksi Sosial Modern yang biasanya dikaitkan dengan George S. Count di Amerika, Paulo Freire di Brasil, dan Jurgen Habermas di Jerman, dan para feminis yang giat meneriakkan prinsip-prinsip kebebasan, meskipun yang terakhir ini memiliki beberapa perbedaan dalam segi-segi tertentu. Sebaliknya, hampir semua agama besar di atas permukaan bumi ini menganut pandangan yang berorientasi kepada individu.Dari kalangan sekuler-modern ada juga seperti Jean-Jacques Rousseau, Abraham Maslow, dan A.S. Neill(The Educational Philosophy, hlm. 121-123).
Orientasi Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam, sudah barang tentu berorientasi kepada individu dengan tujuan menjadikan seseorang memperoleh keberhasilan individu dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.Karena konsep seperti inilah yang sesuai dengan pandangan hidup Islam dan sudah dipraktikkan dari sejak awal. Dalam First World Conference on Islamic Education pada 1977 juga ditegaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan seorang manusia yang baik, bukan warganegara yang baik. Adapun rinciannya:
Pendidikan harus bertujuan pada pertumbuhan kepribadian manusia yang utuh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek dan rasio, perasaan dan indera-indera badan manusia. Latihan yang diberikan kepada seorang Muslim yang harus menjadi keyakinan semacam itu disuntikkan ke seluruh kepribadiannya dan menciptakan dalam dirinya kecintaan emosional kepada Islam dan memungkinkannya mengikuti al-Qur`an dan sunnah dan diatur oleh sistem nilai Islam secara ikhlas dan gembira sehingga ia dapat menjalankan kesadaran statusnya sebagai khalifah Tuhan, yang kepadanya Tuhan menjanjikan kekuasaan alam semesta; …Pendidikan harus menumbuhkan dalam diri manusia gerak hati agar mengatur dirinya dan alam semesta sebagai hamba Tuhan yang benar, bukan dengan menentang dan masuk dalam konflik terhadap alam, tetapi dengan memahami hukum-hukumnya dan memandaatkan keuasaan-kekuasaannya bagi pertumbuhan suatu kepribadian yang berada dalam kerukunan dengannya(Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1997, hlm.102-103)
Al-Qur`an dan hadits sendiri sangat konsisten menjelaskan bahwa manusia mengalami dua tahap penciptaan. Pertama, tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi di zaman primordial atau azali, dan hanya dapat diketahui melalui pengetahuan wahyu.Kedua, tahap biologis alami, yang manusia sendiri dapat mengetahuinya melalui pengalaman dan pengetahuan ilmiah.
Pada tahap pertama, al-Qur`an menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari substansi organik yang rendah dengan sebutan tanah liat gelap (shalshal/hama`), debu dan lumpur (turab/tin lazib), lalu ditiupkan padanya ruh dari Allah swt. Pada tahap ini, Allah swt sudah meminta persaksian kepada manusia bahwa Dia adalah Rabbnya, dan semua Bani Adam pun mengutarakan persaksiannya.Pada tahap ini pula, wahyu menginformasikan bahwa manusia memegang amanat yang tidak sanggup dipikul oleh satu pun makhluk di alam ini, kecuali oleh manusia itu sendiri.Amanat yang dimaksud adalah tugas yang harus dipertanggungjawabkannya kelak di hadapan Rabbnya. Yang disebutkan dalam ayat lain sebagai khalifah di muka bumi, penanggung jawab utama kehidupan di muka bumi, dengan tugas utama mengabdi kepada-Nya.
Sementara pada tahap kedua, manusia diciptakan dalam proses yang dapat dicerna oleh ilmu pengetahuan: sperma disimpan dalam rahim yang kokoh, kemudian diubah menjadi segumpal darah, yang kemudian dibungkus dengan tulang dan daging.
Ini artinya manusia bukanlah sesosok jasad semata yang hidup di alam kasat mata, melainkan seseorang yang juga terikat secara ruhiah dengan peraturan Rabbnya swt.Selain itu, kehidupannya juga tidak hanya berkutat di alam dunia ini semata, melainkan terikat secara primordial dengan kehidupan pasca-dunia, dimana dia harus mempertanggungjawabkan seluruh amanahnya.
Dalam kaitan ini al-Qur`an dan hadits secara konsisten menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan manusia itu terletak pada sejauh mana dia bisa menjaga kualitas ruhnya, mempertahankan kesetiaannya berhubungan dengan Rabb dan dengan sendirinya mengutamakan akhirat. Sebuah sabda Rasul saw misalnya mengingatkan: “Ingatlah, sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging. Apabila dia baik maka akan baik pula seluruh jasad itu, dan apabila dia rusak maka akan rusak pula seluruh jasad itu. Ingatlah, dia itu adalah qalb.”(Shahîh al-Bukhâri babfadli man istabra`a li dinihi no.52 dan bab al-halal bayyinun wa al-haram bayyinun wa bainahuma musytabihatun no.1946; Shahîh Muslim bab akhdzi al-halal wa tarki asy-syubuhat no. 1599)
Berkaitan dengan qalb dalam hadits di atas, menurut Ibn Hajar al-Asqalani, potensi akal juga termasuk di dalamnya, karena al-Qur`an mengisyaratkan bahwa qalb juga mempunyai daya merenung dan berpikir (QS. Al-Hajj [22] : 46). Menurut al-Raghib al-Ashfahani, kata qalb juga bermakna ruh itu sendiri (QS. Al-Ahzab [33] : 10).Itu semua artinya bahwa qalb itu mempunyai potensi merasa, intelek/rasio, menjiwai dan merasakan keberadaan Rabb.
Maka dari itu, pendidikan dalam Islam pasti berorientasi membentuk manusia yang seutuhnya, yang mampu menjadi khalifah di muka bumi, memiliki keterampilan dan kecakapan untuk hidup di dunia, juga mampu beribadah demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.Semua potensi yang ada dalam dirinya juga dijadikan sasaran pendidikan; rasio, rasa, kejiwaan, fisik dan keterampilan.Tidak hanya pada intelektual saja, atau emosional saja, atau spiritual saja, melainkan keseluruhannya secara menyeluruh.
Pendidikan untuk Semua
Satu hal yang juga menjadi sorotan Islam terkaitmanusia—yang merupakan objek utama pendidikan—adalah potensinya yang berbeda-beda.Perbedaan tersebut tidak boleh dinegasikan dengan paksa, melainkan harus dikenali dan didekati dengan arif (QS. Al-Hujurat [49] : 13). Dari perbedaan tersebut juga maka taklif dari Allah swt selalu disesuaikan dengan potensi yang berbeda-beda tersebut (QS. Al-Baqarah [2] : 286).Dalam konteks pendidikan, maka faktor perbedaan dan keunikan dari masing-masing manusia tersebut diperhatikan untuk dikembangkan sesuai dengan potensinya masing-masing.
Dalam praktiknya, peradaban Islam tidak mengenal pembatasan pendidikan hanya untuk orang-orang tertentu yang “normal” saja. Dari sejak zaman Nabi saw dikenal ada shahabat-shahabat yang cacat secara fisik tapi mereka tetap mendapatkan pendidikan. Pendidikan Islam juga tidak mengenal pembatasan pada ruang dan waktu tertentu, termasuk usia. Proses pendidikan bisa berlangsung di mana dan kapan saja,artinya tidak hanya melalui lembaga atau institusi resmi. Pendidikan dilaksanakan di rumah dalam kehidupan keluarga, di masjid, majelis-majelis formal ataupun informal. Nabi saw dan para shahabat telah sejak awal mempraktikkan ini dan terus kemudian dilestarikan oleh generasi Islam sesudahnya.Ahmad Syalabi mencatat dengan baik perkembangan sejarah pendidikan Islam ini melalui bukunya History of Islamic Education.
Dengan menengok kepada lembaga semisal pesantren dan majelis ta’lim saja, maka asas pendidikan untuk semua ini bisa ditemukan wujud nyatanya.Pesantren tidak membatasi usia, tidak membatasi ruang dan waktu, karena bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesepakatan dan untuk siapa saja. Waktu belajar di pesantren juga tidak ditentukan, bahkan bisa sampai seumur hidup sesuai prinsip “carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”.Dari sini maka slogan “pendidikan sepanjang hayat” (life-long education) yang akhir-akhir ini marak sebenarnya sudah berlaku lama dalam khazanah pendidikan Islam.
Peran Pendidik dalam Pendidikan
Salah satu kekhasan pendidikan Islam dari pendidikan lainnya adalah kebergantungannya pada otoritas dan peranan pendidik. Berbeda dengan pendidikan modern yang berpola Barat, karena didominasi oleh tujuan memproduksi “warga Negara” yang berguna, ia kemudian memindahkan otoritas tersebut dari guru ke universitas yang berfungsi sebagai institusi komersial. Akhirnya, universitaslah yang memberikan gelar dan bukannya dosen. Ketika seorang dosen—apapun kemampuannya—dipensiunkan dari universitas, dengan sengaja atau tidak, maka ia akan kehilangan kekuasaannya, atau bahkan identitasnya (The Educational Philosophy, hlm. 232).
Hal seperti ini, menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, merupakan kondisi yang cukup tragis sebagai hasil dari filsafat sekuler mengenai kehidupan dan nilai-nilai materialistik yang diadopsi darinya. Al-Attas menjelaskan:
Ketika suatu masyarakat mendasarkan filsafat kehidupannya pada fondasi sekuler dan mengadopsi nilai-nilai materialistik sebagai jalan hidupnya, tidak dapat dielakkan bahwa makna dan nilai serta kualitas kehidupan individu warga Negara akan dipahami dan diukur dengan pengertian yang sesuai dengan kedudukannya sebagai warga Negara; pekerjaannya dan kegunaannya, serta kekuatan kerja dan penghasilannya dalam hubungannya dengan Negara. Ketika pada usia tua hal ini hilang, demikian pula identitasnya—yang memang dibentuk oleh peranan sekuler yang ia mainkan—akan hilang (Islam and Secularism, hlm. 93-94).
Kekhasan ini bersumber dari kekhasan agama Islam sendiri sebagai agama wahyu. Dalam kedudukannya sebagai agama wahyu peran Nabi (Muhammad saw) selaku pendidik menjadi sangat sentral. Al-Qur`an menyebut sosok Nabi sebagai uswah hasanah; teladan yang baik. Artinya kedudukan Nabi merupakan pusat dari semua kegiatan pembinaan dan pendidikan.Untuk mencapai manusia yang ideal teladanilah Nabi, dan memang Nabi pun telah memberikan teladan yang ideal.Maka Nabi menjadi rujukan nilai, karakter, budi pekerti, atau akhlaq.Dan dengan kedudukan Nabi sebagai uswah hasanah inilah kemudian pendidikan pun berhasil.
Kekhasan kedudukan “pendidik” ini kemudian dilanggengkan oleh generasi berikutnya.Tradisi riwayat—baik hadits ataupun bidang lainnya seperti tafsir, fiqh, dsb—merupakan praktik pendidikan Islam masa awal yang dapat memperlihatkan dengan jelas betapa dominannya peran pendidik. Sebagaimana dikemukakan oleh al-A’zhami dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, di masa-masa awal peradaban Islam, pola pendidikan dalam wujud riwayat telah memperkenalkan delapan metode pengajaran, yaitu:
- Sama’: Pembacaan oleh guru kepada murid, bisa berupa ceramah, membacakan kitab, tanya jawab, dan dikte.
- ‘Ardl: Pembacaan oleh murid kepada guru.
- Ijazah: Mengizinkan seseorang menyampaikan hadits atau kitab berdasarkan otoritas ulama yang memberi izin, tanpa harus membacakan kitab itu kepadanya.
- Munawalah: Memberikan kitab kepada murid sekaligus otoritas untuk meriwayatkannya.
- Kitabah: Menuliskan hadits bagi seseorang untuk diriwayatkan (korespondensi)
- I’lam: Mengabari seseorang bahwa ia (pemberi kabar) telah mengizinkan untuk meriwayatkan sebuah kitab tertentu berdasarkan otoritas ulama tertentu.
- Washiyyah: Mempercayakan kepada seseorang kitab yang dapat ia riwayatkan berdasarkan otoritas orang yang mempercayakan.
Dari kedelapan metode pengajaran di atas terlihat dengan jelas dominannya peran pendidik dalam proses pendidikan. Hal ini akan semakin jelas lagi dalam “sertifikat pembacaan” yang waktu itu dinamai thabaq (semacam ijazah). Thabaq tersebut kewenangan untuk memberikannya hanya ada pada seorang ulama berdasarkan daftar kehadiran dan penguasaan kitab murid.Thabaq ditandatangani oleh ulama yang bersangkutan atau ulama-ulama terkemuka lainnya yang hadir.Saat itu, setiap ulama yang mengajar sudah mempunyai semacam agenda kelas tersendiri, dimana dalam agenda tersebut ditulis dengan rinci siapa yang mengikuti penuh pengajaran kitabnya dan siapa yang hanya mengikuti sebagiannya saja; bagian mana yang mereka pelajari dan mana yang terlewati, dengan mencantumkan tanggal dan tempat.
Pola semacam di atas jika hendak dianalogikan pada zaman sekarang berarti bahwa kewenangan memberikan ijazah hanya ada pada guru, bukan lembaga. Jika kemudian muncul persoalan guru yang seperti apakah yang layak memberikan ijazah, atau bukankah akan terjadi dekadensi kualitas kelulusan jika kelulusan ditentukan oleh guru yang notabene banyak yang tidak otoritatif untuk memberikan ijazah, maka jawabannya, itu sangat tergantung dari paradigma tentang guru itu sendiri.
Islam dari sejak awal sudah mengajarkan: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui(QS. An-Nahl [16] : 43 dan al-Anbiya [21] : 7).Artinya prasyarat otoritatif dari seorang pendidik telah ditekankan dari sejak awal. Dan itu kemudian terbukti dari adab terhadap guru yang kemudian berkembang dalam pendidikan Islam, dimana seorang pendidik diposisikan sebagai sesosok manusia yang sempurna; mencakup kapasitas keilmuan, aqidah dan akhlaq.
Imam al-Ghazali misalnya, dalam risalahnya, Ayyuhal-walad, menyebutkan syarat-syarat dari seorang pendidik yang layak diikuti:
Pertama, berilmu, yang keilmuannya mampu menjadikannya pemimpin.
Kedua, jauh dari sifat gila dunia dan kedudukan.
Ketiga, tercatat pernah berguru kepada seorang syaikh yang otoritatif. Tandanya, syaikh tersebut juga berguru dari syaikh-syaikh yang mata rantai pendidikannya sampai kepada Rasulullah saw.
Keempat, berperilaku ihsan, ditandai dengan sedikit makan, tidur, dan berkata yang tidak perlu, melainkan memperbanyak shalat, shaum dan shadaqah.
Tipologi ideal pendidik semacam inilah yang membuat al-Ghazali dalam karyanya yang lain, Ihya ‘Ulumid-din, memberi catatan bahwa seorang murid harus mencari ganjaran dan kemuliaan dari guru dengan cara bersikap khidmat kepadanya, rendah hati, dan mendengarkan nasihat guru seperti halnya seseorang yang sakit parah mendengarkan nasihat dokter. Bahkan, kata al-Ghazali, seorang murid harus taqlid kepada gurunya dengan meninggalkan sikap kritis.Kalaupun ada metode pengajaran yang salah harus dinilai wajar sebagai sebuah eksperimen, seperti halnya seorang dokter yang ada saja kemungkinan salahnya. Walau catatan yang terakhir ini perlu ditinjau ulang untuk zaman sekarang, akan tetapi di zaman itu bisa sangat sesuai mengingat besarnya peran guru dengan sejumlah keistimewaannya.
Hal ini menjadi isyarat bahwa keberhasilan sebuah pendidikan akan sangat ditentukan oleh kualitas dari para pendidiknya itu sendiri. Jika saat ini pendidik sudah terpusat pada lembaga, maka berarti kualitas dari semua yang terlibat di lembaga itu akan menentukan sejauhmana kualitas pendidikan; mulai dari kepala sekolah, guru, staf, karyawan, semuanya harus bisa memposisikan dirinya sebagai pendidik. Artinya, pendidikan—dalam arti yang sesungguhnya dan itu mengarah pada pembinaan ruh—tidak hanya menjadi tanggung jawab guru-guru tertentu saja sesuai dengan bidang pelajarannya.Karena inti dari pendidikan itu adalah pembinaan akhlaq, maka otomatis semua guru di berbagai bidang pelajaran pun harus mampu mendidik akhlaq, tidak hanya guru agama saja. Jika Nabi saw dan para ulama berhasil mendidik melalui uswah hasanah, maka implementasi pendidikan yang ideal pun sudah cukup dengan metode uswah hasanah tersebut. Semua pihak yang terlibat di sebuah lembaga pendidikan harus menjadi uswah hasanah bagi peserta didiknya.
Peran Kurikulum
Syed M. Naquib al-Attas, seorang filosof pendidikan kontemporer, menegaskan bahwa konsep pendidikan seperti di atas tercakup dalam istilah ta`dib.Istilah ini menjadi lebih tepat lagi untuk digunakan pada zaman sekarang karena saat ini sedang terjadi apa yang disebut al-Attas sebagai the loss of adab(ketiadaan adab). Ketiadaan adab itu sendiri, dalam pengamatannya bersumber dari kekacauan keilmuan. Ia menjelaskan secara runut, pertama, kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya menciptakan:kedua, ketiadaan adab dari masyarakat. Akibat yang timbul dari poin pertama dan kedua adalah:ketiga, munculnya para pemimpin yang bukan saja tidak layak memimpin umat, melainkan juga tidak memiliki akhlaq yang luhur dan kapasitas intelektual dan spiritual yang mencukupi (Islam and Secularism, hlm. 106).
Kekacauan keilmuan yang dimaksud Al-Attas tersebut disebabkanadanya westernisasi (pem-Barat-an) ilmu. Dalam bidang ilmu-ilmu agama, para pelajar ilmu agama bukannya malah semakin yakin akan kebenaran agamanya, melainkan semakin ragu. Seseorang yang belajar tafsir hadits malah semakin yakin ketidaksucian al-Qur`an dan hadits. Seseorang yang berlajar syari’ah malah semakin yakin bahwa syari’ah harus dirombak total. Dalam bidang-bidang ilmu umum pun westernisasi ini terjadi. Bentuknya nilai-nilai agama dicabut dari setiap ilmu pengetahuan umum. Akibatnya seseorang yang belajar ilmu pengetahuan alam tidak semakin yakin akan keberadaan Rabbnya. Orang yang mengkaji ilmu sosial semakin kuat aqidah atheisnya.Pemisahan nilai-nilai ketuhanan dari setiap ilmu yang dipelajari telah menyebabkan anak didik sekuler dari nilai-nilai agamanya. Itu semua diakibatkan oleh westernisasi yang melanda dunia Islam modern.
Maka dari itu, pembenahan kurikulum dalam menunjang pendidikan ini sangat urgen dilakukan. Hal itu disebabkan Islam dari sejak awal sudah menggariskan bahwa bertambahnya ilmu sudah semestinya menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Orang yang akan diangkat derajatnya oleh Allah swt itu bukan orang yang pintar tapi kosong nilai keimanannya, melainkan orang yang berilmu tapi juga beriman. Di sinilah maka pendidikan juga harus diorientasikan pada peningkatan keimanan dan akhlaq, dan pembenahan kurikulum melalui dewesternisasi (menghilangkan nilai-nilai Barat sekuler) dari kurikulum pendidikan mutlak dilakukan. Wal-’Llahu a’lam.
dikutit dari : Pemukiran-islam.net