Sekularisme dalam Pendidikan
Sekularisme dan kemodernan merupakan dua hal yang tidak boleh terpisah. Demikian asumsi yang hampir dianggap benar oleh masyarakat modern dewasa ini. Sebuah masyarakat disebut modern kalau masyarakat tersebut sekular; menyimpan agama hanya pada kehidupan pribadi dan tidak dibawa-bawa ke ranah sosial. Sebuah Negara juga bisa dikategorikan modern kalau Negara tersebut sekular; tidak mengikatkan diri pada satu agama tertentu dan menyerahkan urusan agama pada masyarakatnya, tidak perlu diatur oleh negara.
Paradigma semacam itu jelas tidak bisa diterima, mengingat: Pertama, fenomena sekularisme tidak hanya terjadi di zaman modern sekarang saja, dari sejak zaman kuno pun fenomena sekularisme telah ada, ditandai dengan orang-orang yang berpendapat bahwa kehidupan ini hanya ada di dunia saja, tidak ada akhirat, dan dengan sendirinya tidak diperlukan aturan-aturan agama. Kedua, di setiap masanya peran agama walau bagaimanapun tidak pernah bisa dihilangkan. Maka dari itu tidak heran jika usaha yang sangat serius dari beberapa penguasa Negara muslim semisal Turki, Mesir, India, termasuk Indonesia untuk melakukan sekularisasi dalam kehidupan masyarakatnya bisa dikatakan tidak berhasil.
Walaupun begitu, bukan berarti bahwa fenomena sekularisme ini bisa diabaikan begitu saja, karena walau bagaimanapun pemahaman ini ada dan terus bertarung dengan pemikiran Islam yang anti-sekularisme. Kuntowijoyo misalnya menyebutkan bahwa sekularisme ini telah benar-benar merasuk ke dalam kehidupan masyarakat, baik yang wujudnya materialism ataupun skeptisisme. Dalam hal ini maka umat Islam harus betul-betul meneguhkan “Paradigma Islam”. Tulis Kuntowijoyo:
Tugas utama Paradigma Islam ialah melawan sekularisme. Sekularisme mempunyai multiefek, merasuk dalam-dalam ke jiwa peradaban, dan sangat fundamental dalam cara berpikir manusia. Dan, jangan lupa Indonesia adalah bagian dari peradaban modern: tempat hiburan “maksiat”, pornografi, dan penyimpangan seksual adalah sekularisme-materialisme, dan cara berpikir “kekiri-kirian” dan keraguan intelektual terhadap kebenaran al-Quran generasi muda berlatar belakang pendidikan agama adalah sekularisme-skeptisisme. [1]
Sekularisme-Skeptisisme
Sebagaimana disebutkan Kuntowijoyo di atas tentang “sekularisme-skeptisisme”, maka kalau kita perhatikan, hari ini wujudnya memang benar-benar nyata. Di lembaga pendidikan Islam terjadi confusion (kekacauan) dalam ilmu-ilmu agama. Gejalanya, sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif sebagai “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. [2]
Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.
Gejala kanker epistemologis seperti disebutkan di atas saat ini menjadi kurikulum utama di lembaga pendidikan Islam. Di sekolah-sekolah ditanamkan apa yang disebut dengan pendidikan multikulturalisme. Misi utamanya menanamkan keyakinan bahwa Islam bukan satu-satunya agama yang benar. [3] Di perguruan tinggi Islam diajarkan dan ditanamkan secara resmi pluralisme agama; keyakinan bahwa kebenaran ada pada semua agama. Konsekuensinya, dibenarkan pula pernikahan antar-agama, mengucapkan selamat natal kepada pemeluk Kristen, do’a bersama/antar-agama, merayakan hari raya agama lain, yang kemudian dikodifikasikan menjadi Fiqh Lintas Agama. [4]
Hermeneutika yang merupakan metode tafsir Bible juga diajarkan dan ditanamkan sebagai sebuah terobosan baru dalam ilmu tafsir. Dampaknya, al-Qur`an disamakan dengan Bible; sebuah produk sejarah yang dihasilkan manusia, bukan sebagai kalam Allah; penafsiran terhadapnya relatif, tidak ada yang berhak mengklaim benar; dan ajaran-ajaran yang dikandungnya harus dirombak total agar sesuai dengan zaman, seperti jilbab, hukum potong tangan, hukum pernikahan, hukum perang dan lain-lainnya. [5]
Sekularisasi Ilmu
Dalam dunia keilmuan, sekularisme ini juga masuk melalui sekularisasi ilmu pengetahuan (sains). Menurut Mulyadhi Kartanegara, seorang Doktor filsafat dari Chicago University, saat ini ilmu pengetahuan kontemporer telah mengalami sekularisasi. Menurutnya, salah jika ada orang yang berasumsi bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu di setiap peradaban selalu mengalami naturalisasi. Seperti yang terjadi pada masa kejayaan Yunani, di mana ilmu dan filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans. Sebagai buktinya, menurut Mulyadhi, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Padahal menurut pengalaman Mulyadhi, penemuan-penemuan ilmiah tersebut justru memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan. [6]
Mulyadhi lebih lanjut menjelaskan bahwa kerangka kerja ilmiah yang dikembangkan oleh para ilmuwan modern telah mengalami sekularisasi. Menurut Aristotelian, yang kemudian tidak diingkari oleh para filosof muslim, penjelasan ilmiah itu harus meliputi empat sebab: efisien, material, formal dan final. Sebab efisien berhubungan dengan inisiatif dari proses perubahan (dan karena itu merupakan sumber utama), sebab material berkaitan dengan bahan, sebab formal berkaitan dengan bentuk, dan terakhir sebab final merupakan tujuan pembentukan sesuatu. Akan tetapi oleh para ilmuwan modern, sebab formal dan final yang berkaitan dengan makna dilepas, karena dipandang erat kaitannya dengan kepercayaan atau agama. [7] Pengalaman bangsa Eropa yang sangat lama tertindas di bawah panji-panji agama Kristen, jelas menjadi penyebab dari perubahan kerangka kerja ilmiah tersebut. Suatu pengalaman sejarah yang sama sekali tidak dialami oleh Islam. [8] Sekularisasi seperti ini, menurut Mulyadhi, kemudian menjalar ke seluruh penjuru dunia dengan westernisasi ilmu. [9]
Islamisasi
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang filosof pendidikan Islam kontemporer, dalam hal ini mengajukan gagasan islamisasi pengetahuan kontemporer (the islamization of present-day knowledge) sebagai jawaban dari sekularisasi yang melanda dunia pendidikan. Predikat “masa kini” sengaja digunakan al-Attas sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan. [10]
Menurut al-Attas, ilmu pengetahuan masa kini menjadi problem karena secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Sementara elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat itu benar-benar bermuatan deislamisasi.
Wujud konkret deislamisasi ini, menurut al-Attas bisa dilihat dalam praktek pendidikan hari ini. Pada tingkat pendidikan rendah, hubungan pedagogis antara al-Qur`an dan pelbagai bahasa lokal umat Islam telah terputus; dan sebagai gantinya adalah kultur sekuler, nasional, etnis, dan tradisional ditekankan.
Pada tingkat pendidikan tinggi, studi terhadap bahasa dan kebudayaan menggunakan perangkat metode linguistik dan antropologi, sementara studi literatur dan sejarah Islam menggunakan nilai-nilai dan model-model Barat, kerangka studi orientalis dan filologi, serta ilmu sosial yang telah disekulerkan, seperti sosiologi, teori pendidikan, dan psikologi. [11] Apa yang terjadi pada studi Islam di berbagai perguruan tinggi Islam Indonesia hari ini bisa juga menjadi contoh validnya. [12]
Maka dari itu, dalam gagasan islamisasinya ini al-Attas mengemukakan adanya dua proses yang saling berhubungan, yaitu:
- Pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini, khususnya ilmu-ilmu humaniora.
- Pemasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Itu artinya bahwa islamisasi bukan hanya labelisasi, seperti teknologi Islam, sosiologi Islam, bom Islam, komputer Islam. Bukan pula justifikasi ayat dan hadits terhadap fenomena keilmuan yang ada, seperti menyertakan ayat-ayat al-Qur`an untuk membenarkan penemuan-penemuan dalam iptek. Demikian juga, bukan dengan cara membangun institusi-institusi Islam semata yang terfokus pada penyertaan etika dan estetika Islam di setiap kegiatan pendidikannya. Akan tetapi islamisasi adalah sebuah kerja epistemologis yang memerlukan penguasaan epistemologi Islam yang matang. Kedua tugas yang menantang ini dengan sendirinya mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai bentuk, jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban, juga mengenai kebudayaan dan peradaban Barat. Dengan kata lain, memerlukan penguasaan terhadap islamic worldview dan oksidentalisme.
Footnote:
[1] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju, 2004, hlm. 118.
[2] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 140.
[3] Lihat Zakiyuddin Baidhawi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.
[4] Lihat Nurcholish Madjid dkk., Fiqih Lintas Agama, 2005.
[5] Lihat misalnya karya Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan.
[6] Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2005, Cet. II, hlm. 85-86.
[7] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003, hlm. 123-128.
[8] Syamsuddin Arif, Sains di Dunia Islam: Telaah Historis-Sosiologis dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn II No. 6/Juli-September 2005, hlm. 86-87.
[9] Mulyadhi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, hlm. 86.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Adian Husaini telah melakukan penelitian ilmiah terhadap fakta ini yang kemudian dituliskannya dalam Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.