BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Manusia
sebagai mahkluk sosial (homososius)
memerlukan suatu
tempat tinggal untuk
melakukan interaksi dengan sesamanya dan
juga sebagai tempat
mengembangkan ide dan kreativitasnya. Manusia yang membentuk suatu perkumpulan, yang mana didalamnya terjadi suatu interaksi
antar sesama anggotanya
disebut dengan masyarakat.
Kemudian secara alamiah jika masyarakat itu hidup rukun
dan tentram sesuai dengan hukum akal ( law of reason) maka akan terbentuklah suatu negara ( Jean Jacques
Rousseau ).
Keberadaan UUD 1945
yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami
beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya
merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara
warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang
dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi). Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju kearah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang
seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang
tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa kedepannya. Sebab wajah negara yang
demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan
rakyat dan kemanusiaan tidak lepas dari perubahan konstitusi yang ada. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan tentang pengertian negara dan
konstitusi serta empat poin penting yang terkait
dengan perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR, yaitu (1) alasan
melakukan perubahan, (2) perubahan-perubahan yang telah dilakukan, (3)
implikasi perubahan terhadap sistem ketatanegaraan, dan (4) catatan kritis (critical
review) terhadap hasil perubahan yang dapat menimbulkan implikasi “lain”
dalam praktek ketatanegaraan ke depan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan
dibahas pada penulisan kali ini. Masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah pengertian negara itu?
1.2.2 Apakah pengertian konstitusi itu?
1.2.3 Apakah pengertian Negara
konstitusi?
1.2.4 Bagaimana konstitusi
di Indonesia?
1.2.5 Bagaimanakah
hubungan antara negara Indonesia dengan konstitusinya?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari negara.
1.3.2 Untuk mengetahui pengertian dari
konstitusi.
1.3.3 untuk mengetahui pengertian nrgara konstitusi
1.3.4.Untuk mengetahui konstitusi di Indonesia
1.3.5 Untuk mengetahui hubungan antara negara
Indonesia dengan konstitusinya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 NEGARA
Negara secara literal merupakan penjelasan dari kata-kata
asing yaitu state (bahasa inggris), staat ( bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis), dimana semua
kata-kata ini diambil dari bahasa Latin
yaitu statum yang artinya keadaan yang tetap dan tegak.
Istilah umum itu diartikan sebagai kedudukan (standing, station)
Adapun pengertian Negara menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
·
Prof. Farid S.
Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan Negara lain serta memiliki kedaulatan.
·
Georg Jellinek
Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
·
Georg Wilhelm Friedrich Hegel
Negara
merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan
individual dan kemerdekaan universal
·
Max Weber
Negara adalah suatu masyarakat
yang memonopoli penggunaan
kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.
·
Aristoteles
Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengertian negara itu ada dua, yaitu : pertama, negara adalah
organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati rakyatnya; kedua, negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah
atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai satu kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa Negara adalah suatu organisasi dari kelompok-kelompok manusia
yang bersama-sama mendiami suatu wilayah
tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib
serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut.
2.2 KONSTITUSI
Kata
konstitusi berarti “pembentukan”,berasal dari kata “Constituer” (bahasa
Prancis) yang berarti membentuk. Yang di bentuk adalah sebuah negara. Maka,
Konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara.
Maka dapat
dipahami,
bahwa bahasa Belanda menggunakan kata “Grondwet”(grond=dasar,wet=undang-undang), yang
berarti suatu undang- undang yang menjadi dasar (grond)dari segala
hukum.
Sedangkan di Indonesia menggunakan kata “ Undang- Undang Dasar” seperti grondwet tadi.
Menurut
K. C. Wheare, konstitusi
adalah kumpulan hukum, institusi
dan adat kebiasaan, yang
ditarik dari prinsip-prinsip rasio tertentu yang
membentuk sistem umum, dengan mana masyarakat setuju untuk diperintah.
Sedangkan Abu Daud
Busroh
dan Abubakar Busro membagi pengertian konstitusi menjadi 2 pengertian yaitu;
a)
Pengertian sosiologis dan politis
(sosiologiche atau politische begrip). Konstitusi merupakan shintese faktor kekuatan yang
nyata (dereele machtstfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan
hubungan antara kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.
b)
Pengertian yuridis (yuridische
begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan
sendi-sendi pemerintahan.
Dengan demikian, suatu konstitusi merupakan aturan-aturan dasar (fundamental) yang
dibentuk didalam mengatur hubungan antar negara dan warga negara. Konstitusi di Indonesia adalah Undang- Undang Dasar 1945.
2.3
NegaraKonstitusi
Dari
penjelasan di ats maka dapat dikatakan bahwa negara konstitusi merupakan suatu
organisasi dari kelompok-kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu dan mengakui adanya
satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau
beberapa kelompok manusia tersebut, yang diatur dengan aturan-aturan dasar (fundamental) yang dibentuk
didalam mengatur hubungan antar negara dan warga negara.
2.4. Konstitusi
Di Indonesia
2.4.1 Konstitusi Hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak
tertulis
Hukum
Dasar Tertulis (UUD)
UUD itu rumusannya tertulis dan tidak berubah.Adapun pendapat L.C.S wade dalam
bukunya contution law,UUD menurut sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang
memafarkan kerangk dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintshsn suatu
Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut jadi UUD itu
mengatur mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan.
UUD juga dapat dipandang sebagai lembaga/sekumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan tersebut bagi mereka memandang suatu Negara dari sudut
kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan.Adapun hal
tersebut di bagi menjadi tiga badan legislatif,eksekutif dan yudikatif.
UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lain.UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam
satu Negara.Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 bersifat
singkat dan supel,UUD 1945 hanya memilik 37 pasal,adapun pasal-pasal lain hanya
memuat aturan peralihan dan aturan tambahan yang mengandung makna:
- Telah cukup jikalau UUD hanya memuat
aturan-aturan pokok,hanya memuat grafis besar intruksi kepada
pemerintahpusat dan semua penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan
kehidupan Negara dan kesejahteraan social.
- Sifatnya harus supel (elastic)dimaksudkan bahwa
kita harus senantiasa ingat bahwa masyarakat ini harus terus berkembangdan
dinamis seiring perubahaan zaman .Oleh karena itu,makin supel sifatnya aturan
itu makin baik.jadi kita harus menjaga agar sistem dalam UUD itu jangan
ketinggalan zaman.Menurut dadmowahyono ,seluruh kegiatan Negara dapat
dikelompokan menjadi dua macam penyelenggara kehidupan Negara
kesejahteraan social.
Sifat-sifat UUD
- Oleh karena sifatnya maka rumusannya merupakan
suatu hokum positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara Negara
maupun mengikat bagi warga Negara.
- UUD 1945 itu bersifat supel dan singkat karena
UUD 1945 memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus di kembangkan
sesuai dengan perkembangan zaman dan memuat ham.
- Memuat
norma-norma/aturan-aturan/ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus
dilaksanakan secara kontituional.
- UUD 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan
peraturan hukum positif yang tertinggi,disamping itu sebagai alat kontrol
terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hirarki
tertib hukum Indonesia.
Hukum dasar tak tertulis(Convensi)
Convensi adalah hukumdasar yang tak tertulis yaitu
aturan-aturan dasar yang timbul dan terperihara dalam [raktek penyelenggaraan
Negara meskipun sifatnya tidak tertulis.
Sifat-sifat:
- Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara.
- Tak bertentangan dengan UUD dan berjalan sejajar
- Diterima oleh seluruh rakyat/masyarakat
- Bersifat sebagai pelengkap sehingga memungkinkan
bawa convensi bias menjadi aturan-aturan dasar yang tidak tercantum dalam
UUD 1945.
Contoh :
- Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah
mufakat.menurut pasal 37 ayat(1) dan (4) UUD 1945 segala keputusan MPR
diambil berdasarkan suara terbanyak tetapi sistem ini kurang jiwa
kekeluargaan sebagai kepribadian bangsa.oleh karena itu,dalam
praktek-praktek penyelenggaraan Negara selalu di usahakan untuk mengambil
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan ternyata hamper selalu
berhasil.pungutan suara baru ditempuh jika usaha musyawarah untuk mufakat
sudah tak dapat dilaksanakan.
- Praktek-praktek penyelenggaraan Negara yang sudah
menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain:
Pidato
kenegaraan presiden RI setiap 16 Agustus di dalam sidang DPR
Pidato
presiden yang di ucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang rencana anggaran
pendapatan belanja (RAPB)Negara pada minggu 1, pada bulan januari tiap
tahunnya.
Jika convensi ingin di jadikan
rumusan yang bersifat tertulis maka yang berwenang adalah MPR dan rumusannya
bukan lah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR
dan tidak secara otomatis setingkat dengan UUD melainkan sebagai suatu ketetapan
MPR.
Dalam proses hukum sekarang ini,berbagai kejadian
ilmiah tentang UUD 1945.banyak orang yang melontarkan ide untuk melakukan
amandemen terhadap UUD 1945.Amandemen tersebut merupakan prosedur penyempurnaan
terhadap UUD 1945.tanpa harus langsung mengubah UUD itu sendiri atau bias di
bilang merupakan pelengkapan dan rincian yang di jadikan lampiran otentik bagi
UUD tersebut.(mahfud,1999:64)
2.4.2 Perkembangan UUD 1945 dalam Sejarah
Ketatanegaraan Indonesia
Ide tentang amandemen terhadap UUD
1945 didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama orde lama dan orde baru
bahwa penerapan terhadap pasal UUD memiliki sifat-sifat intrerretable atau
berwayuh arti sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama
kepada presiden karena latar belakang politik ini lah maka pada orde baru UUD
1945 di lestarikan dan di anggap bersifat keramat yang tak dapat di ganggu
gugat.
Menurut bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah suatu
keeharusan karena akan mengantarkan bangsa Indonesia ketahapan yang baruu dalam
melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.Amandemen terhadap UUD 1945 di
lakukan oleh bangsa Indonesia sejak 1999 di mana pemberian tambahan dan
perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945 kemudian amandemen ke2 tahun 2000 disahkan
tanggal 10 Agustus 2002 UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan
melibatkan sebanyak-banyak nya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan
politik,sehingga di harapkan struktur kelembagaan Negara yang lebih demokratis
ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang
UUD 1945 bnyak melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Memang amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali Uud 1945, akan
twtapi merupakan proaedur penyempurnaan terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan
dengan melakukan berbagai macam perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan
tambahan-tambahan.
Dari awal, para
pendiri negara secara eksplisit sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 adalah konstistusi yang bersifat sementara. Bahkan, Soekarno menyebutnya
sebagai UUD atau revolutiegrondwet. Kondisi obyektif ini sudah
diantisipasi oleh thefouding fathers dengan menyediakan Pasal 37 UUD
1945 sebagai sarana untuk melakukan perubahan. Karena kelalaian menjalankan
amanat itu, sejak awal kemerdekaan proses penyelengaraan negara dilaksanakan
dengan konstitusi yang bersifat sementara.
Menelusuri
perjalanan sejarah ketatanegaraan selama hampir setengah abad di bawah UUD 1945
(1945-1949 dan 1959-2002), persoalan mendasar tidak hanya terletak pada sifat
kesementaraan tetapi lebih kepada kelemahan-kelemahan elementer yang terdapat
dalam UUD 1945. Misalnya, sangat fleksibel untuk diterjemahkan sesuai dengan
keinginan pemegang kekuasaan, terperangkap dalam design ketatanegaraan
yang rancu sehingga tidak membuka ruang untuk melaksanakan paradigma checks
and balances atau akuntabilitas horizontal dalam menciptakan good
governance.
Kedua kelemahan
itu sangat mewarnai perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD
1945, yang kemudian bermuara pada multi-krisis yang terjadi pada penghujung
abad XX dan sampai dua tahun pertama awal abad XXI belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir. Misalnya dalam hal penafsiran, pergantian sistem presidentil
kepada sistem parlementer pada tanggal 14 November 1945. Di dua era yang
berbeda, Soekarno menafsirkan (memahami) demokrasi dalam UUD 1945 sebagai
Demokrasi Terpimpin sementara Soeharto menafsirkannya sebagai Demokrasi
Pancasila dan kedua-duanya melahirkan rejim otoriter.
Krisis
ketatanegaraan yang diawali dengan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998
memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD
1945. Banyak anggapan bahwa salah satu penyebab krisis itu adalah ketidakmampuan
UUD 1945 mengantisipasi penyelewengan-penyelewengan dalam praktek
penyelenggaraan negara. Dalam waktu yang panjang, UUD 1945 telah menjadi
instrumen politik yang ampuh berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan
praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sekitar
kekuasaan Presiden.Oleh karena
itu, di masa reformasi menyusul berakhirnya kekuasaan Soeharto, agenda
perubahan UUD 1945 menjadi sesuatu yang niscaya. Ini dapat dipahami bahwa tidak
mungkin melakukan reformasi politik dan ekonomi tanpa melakukan reformasi
hukum. Reformasi hukum pun tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan
terhadap konstitusi (constitutional reform).
1.Sifat sementara
Seperti telah dinyatakan pada bagian
awal bahwa penetapan UUD 1945 tidak dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang
bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut :
“Undang-undang
Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar Sementara. Kalau boleh
saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita
telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”.
Selain pernyataan itu, sifat
sementara juga terdapat dalam ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusayawaratan Rakyat dibentuk,
Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.
2.Fleksibel
Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan
hanya pada sifat kesementaraan itu tetapi juga pada sifatnya yang amat
fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan perkembangan kondisi politik
dan keinginan pemegang kekuasaan. Paling tidak ada tiga alasan yang dapat membuktikan
ini.
Pertama, keluarnya
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah kedudukan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga legislatif yang sejajar
dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja (BP)
KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP inilah yang mengusulkan
untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem
Parlementer. Usul ini disetujui oleh pemerintah melalui Maklumat Pemerintah
pada tanggal 14 November 1945. Pergantian
sistem pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan terhadap
Undang-undang Dasar 1945.
Kedua, perdebatan tak berkesudahan dalam Konstituante telah memberikan peluang
kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran (pemahaman) terhadap nilai-nilai
demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era
demokrasi multipartai, Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang
terdapat dalam UUD 1945 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong-royong antara semua kekuatan nasional. Ini disebut oleh Soekarno
dengan Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah kemudian yang mendorong
Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan Angkatan Darat (AD) dan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketiga, sama halnya dengan Soekarno, Soeharto sebagai penguasa yang menggantikan
Soekarno juga mencoba melakukan penafsiran tersendiri terhadap UUD 1945. Pemahaman
ini melahirkan Demokrasi Pancasila dengan jargon “melaksanakan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Konsep ini juga
melahirkan rezim otoriter dengan dukungan AD dan Golongan Karya.
Dari tiga fakta
sejarah tersebut UUD 1945 dapat dikatakan sebagai “konstitusi karet” karena
amat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan
penguasa. Bahkan, dua
fakta terakhir memperlihatkan bahwa UUD 1945 telah melahirkan rezim otoriter.
Di samping itu, kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab
terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi
peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, antikritik dan antiperbedaan
pendapat.
3.Tidak konsisten
Tidak konsisten adalah salah satu
kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945. Hal ini telah menimbulkan dampak
yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di Indonesia. Inkonsistensi ini
dapat dibuktikan sebagai berikut :
Pertama, sistem
pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem presidentil ini dapat
dibuktikan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tetapi
dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR membuktikan
bahwa model sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat menjatuhkan Presiden dengan cara
mengadakan Sidang Istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban, maka
Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan berakibat pada
pembubaran kabinet.
Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada
bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan
Negara. Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling
melengkapi. Tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan
rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan
negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara
dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan roda
pemerintahan.
2.4.3 Hasil Amandemen UUD 1945
Amandemen
Pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 telah melakukan
perubahan terhadap 9 pasal yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
20, dan Pasal 21.
Pasal-pasal
yang diperbaiki dalam Amandemen Pertama lebih memberikan penekanan pada
perdebatan yang muncul pada awal kejatuhan rezim Soeharto. Misalnya, pada masa
itu dirasakan bahwa kemampuan Soeharto untuk dapat bertahan sebagai Presiden
sekitar 32 tahun karena tidak adanya pembatasan periodesasi masa jabatan
Presiden. Untuk itu, MPR melakukan amandemen terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang
secara eksplisit menentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi Presiden
Indonesia hanya untuk dua kali masa jabatan.
Di samping itu,
Amandemen Pertama juga mengurangi kecenderungan UUD 1945 yang executive
heavy. Ini dilakukan dengan memperbaiki bunyi pasal-pasal yang terkait
dengan DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar, Presiden mempunyai
keharusan untuk memperhatikan pertimbangan DPR, atau dalam memberikan Amnesti
dan Abolisi Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Sementara itu,
Amandemen Kedua telah dilakukan perubahan sebanyak 7 bab dan 25 pasal yang
meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal
20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal
28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII,
Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
Sebagai
kelanjutan, Amandemen Kedua melakukan perubahan untuk tiga hal yang amat
mendasar. Pertama, memberikan landasan yang lebih kokoh terhadap
keberadaan daerah dan pemerintahan daerah. Ini dapat dilihat dengan melakukan
perubahan besar terhadap Pasal 18 UUD 1945. Kedua, melanjutkan usaha
penguatan terhadap peranan DPR dalam proses penyelenggaraan negara Indonesia. Pasal 19,
Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B adalah penguatan yang “luar
biasa” terhadap DPR. Ketiga, memberikan penambahan yang lebih luas
terhadap ketentuan hak asasi manusia yang dirasakan amat terbatas dalam UUD
1945.
Kemudian dilanjutkan dengan
Amandemen Ketiga yang meliputi Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3),
dan (4); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1),
(2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11
ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA; Pasal 22C ayat (1), (2), (3),
dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB; Pasal 22E ayat (1),
(2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal
23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan(2);
Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat
(1), (2), (3), (4), (5), dan (6).
Perubahan dan penambahan yang
dilakukan dalam Amandemen Ketiga lebih tertuju pada lembaga-lembaga negara.
Misalnya (1) pergantian proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari pola
pemilihan dengan sistem perwakilan (di MPR) menjadi proses pemilihan langsung,
(2) perbaikan terhadap pola pertanggungjawaban Presiden untuk dapat
diberhentikan sebelum habis masa jabatannya, (3) pergantian sistem unikameral
menjadi sistem bikameral, dan (4) mengakomodasi kehadiran “lembaga baru” yaitu
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Amandemen Keempat lebih merupakan
penyelesaian terhadap bagain-bagian yang masih tersisa dalam amandemen
sebelumnya meliputi Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 23B,
Pasal 24 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan
(2), Pasal 33 ayat (4) dan (5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37
ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan
Aturan Tambahan serta pencabutan terhadap Penjelasan UUD 1945.
2.4.4 Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem
Ketatanegaraan Indonesia
Mencermati
seluruh hasil perubahan yang telah dilakukan oleh MPR, ada beberapa catatan
penting yang dapat dikemukakan. Pertama, kesemua pasal telah dilakukan perubahan kecuali Pasal 4, 10 dan Pasal 12.
Kedua, terjadi (1) penambahan 4 bab baru (dari 16 bab menjadi 20 bab),
(2) penambahan 25 pasal baru (dari 37 pasal menjadi 72 pasal), dan (3)
penambahan 120 ayat baru (dari 49 ayat menjadi 169 ayat). Ketiga, dihapusnya
penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945. Perubahan yang begitu besar
menimbulkan implikasi terhadap struktur ketetanegaraan, yaitu terjadinya
perubahan kelembagaan secara mendasar (lihat bagan). Implikasi perubahan
tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara tetapi juga
perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.
Lembaga Negara Sebelum Amandemen
|
Lembaga Negara Setelah Amandemen
|
1. MPR
2. Presiden / Wapres
3. DPR
4. DPA dan BPK
5. MA
|
1. MPR
2. DPR
3. DPD
4. Mahkamah Konstitusi
5. BPK
6. Mahkamah Agung
7. Mahkamah Yudisial
|
Beberapa Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.
Pertama, MPR tidak
lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan
rakyat tertinggi. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya
logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam
menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga
negara. Selama ini, model MPR sebagai “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”
telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang
pasca-abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut.
Kedua, dihapusnya sistem unikameral
dengan supremasi MPR dan munculnya sistem bikameral. Dalam sistem bikameral,
masing-masing kamar mencerminkan jenis keterwakilan yang berbeda yaitu DPR
merupakan representasi penduduk sedangkan DPD merupakan representasi wilayah
(daerah). Perubahan ini terjadi menjadi sebuah keniscayaan karena selama ini
Utusan Daerah dalam MPR tidak ikut membuat keputusan politik nasional dalam
peringkat undang-undang.
Ketiga,
perubahan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari sistem perwakilan
menjadi sistem pemilihan langsung. Perubahan ini tidak terlepas pengalaman
“pahit” yang terjadi pada proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden
selama Orde Baru dan pemilihan Presiden tahun 1999. Empat alasan mendasar (raison d’etre) pergantian ini.
1. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung
akan mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil rakyat sebagai wujud kontrak
sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih.
2. Pemilihan langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrik
politik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan
dengan mudah terjadi dalam sistem multipartai. Apalagi kalau pemilihan umum
tidak menghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar-tawar politik menjadi
sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan.
3. Pemilihan langsung akan memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat
untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan
kepada orang lain. Kecenderungan
dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antara aspirasi rakyat
dengan wakilnya.
4. Pemilihan
langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagai kekuatan dalam
penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanisme checks and
balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilih
oleh rakyat. Selama ini, yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
MPR menjadi sumber kekuasaan dalam negara karena adanya ketentuan bahwa lembaga
ini adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kekuasaan inilah yang dibagi-bagikan
secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara lain termasuk kepada
Presiden. Akibatnya, kelangsungan kedudukan Presiden sangat tergantung kepada MPR.
Keempat,
mekanisme impechment yang semakin jelas. Sebelum dilakukan perubahan, dalam
pasal-pasal UUD 1945 tidak secara eksplisit memuat ketentuan mengenai
impeachment. Instrumen untuk melakukan kontrol ini dapat dilihat dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “…Oleh karena itu DPR dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika Dewan menganggap bahwa
presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau
oleh MPR, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar
supaya bisa minta pertanggungjawab kepada presiden”.
Berdasarkan
penguraian tesebut, pelaksanaan SI akan sangat tergantung kepada dua hal.
Pertama, adanya pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dalam
bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kedua, adanya permintaan dari DPR kepada MPR
setelah dilakukan Memorandum Pertama dan Memorandum Kedua.
Dengan adanya
perubahan UUD 1945, perdebatan-perdebatan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan
impechment ke depan dapat dikurangi secara signifikan dengan adanya
rumusan kaedah secara lebih jelas dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945
Kelima, dihapusnya DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Sebelum dilakukan
Amandemen Keempat, kedudukan konstitusional DPA sebagai lembaga tinggi negara
dapat ditemui dalam Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPA berkewajiban
memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan “Dewan ini ialah sebuah Council
of State yang berwajib memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah.
Ia hanya sebuah badan penasehat belaka”.
Keenam, kekuasaan kehakiman tidak
hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Perubahan ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang terhadap undang-undang dan kewenangan lainnya yang diberikan
oleh undang-undang. Sedangkan Mahkmah Konstitusi, menurut ketentuan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kekuasaan ke
tangan DPR bertambah banyak dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa
jabatan strategis kenegaraan, misalnya menentukan tiga dari sembilan orang
hakim Mahkamah Konstitusi, dan memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Di samping itu, DPR juga menjadi lembaga yang paling menentukan dalam proses
pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) seperti
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan
bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam
pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri).
2.5. HUBUNGAN
NEGARA INDONESIA DENGAN KONSTITUSINYA
Negara dan konstitusi berhubungan sangat erat, konstitusi lahir merupakan usaha untuk melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat norma-norma ideal, yang penjabarannya dirumuskan dalam pasal-pasal oleh UUD (Konstitusi) Merupakan satu kesatuan utuh, dimana dalam Pembukaan UUD 45 tercantum dasar negara Pancasila, melaksanakan konstitusi pada dasarnya juga melaksanakan dasar negara. Bagi bangsa Indonesia, negara dan konstitusi adalah dwitunggal. Jika diibaratkan sebagai bangunan, negara adalah pilar-pilar atau tembok yang tidak bisa berdiri kokoh tanpa pondasi yang kuat, yaitu konstitusi Indonesia. Hampir setiap negara memiliki konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi tersebut sudah berjalan optimal atau belum.
Negara dan konstitusi berhubungan sangat erat, konstitusi lahir merupakan usaha untuk melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat norma-norma ideal, yang penjabarannya dirumuskan dalam pasal-pasal oleh UUD (Konstitusi) Merupakan satu kesatuan utuh, dimana dalam Pembukaan UUD 45 tercantum dasar negara Pancasila, melaksanakan konstitusi pada dasarnya juga melaksanakan dasar negara. Bagi bangsa Indonesia, negara dan konstitusi adalah dwitunggal. Jika diibaratkan sebagai bangunan, negara adalah pilar-pilar atau tembok yang tidak bisa berdiri kokoh tanpa pondasi yang kuat, yaitu konstitusi Indonesia. Hampir setiap negara memiliki konstitusi, terlepas dari apakah konstitusi tersebut sudah berjalan optimal atau belum.
Kaitan antara negara
dengan konstitusi adalah keterkaitan
antardasar negara dan konsitusi tampak pada gagasan dasar, cita-cita, dan
tujuan negara yang tertuang dalam mukadimah atau Pembukaan Undang-Undang Dasar
suatu negara. Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kebatinan negara. Pembukaan
memuat asas kerohanian negara, asas politik negara, asas tujuan negara, serta
menjadi dasar hukum daripada undang-undang. Pancasila dengan batang tubuh
merupakan wujud yuridis konstitusional tentang sesuatu yang telah dirumuskan
dalam pembukaan. UUD 1945 adalah peraturan perundangan teringgi negara
Indonesia yang bersumberkan pada Pancasila.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
1. Negara
merupakan suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia
yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan
mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan
sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya.
2. Konstitusi
diartikan sebagai peraturan yang mengatur suatu negara, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis. Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang
menopang berdirinya suatu negara.
3. Negara
dan konstitusi berhubungan sangat erat, konstitusi lahir merupakan usaha untuk
melaksanakan dasar negara.Bagi bangsa Indonesia, negara dan konstitusi adalah
dwitunggal.
4. Perubahan yang
begitu besar menimbulkan implikasi terhadap struktur ketetanegaraan, yaitu
terjadinya perubahan kelembagaan secara mendasar . Implikasi perubahan
tidak hanya terjadi terhadap struktur lembaga-lembaga negara tetapi juga
perubahan terhadap sistem ketatanegaraan secara keseluruhan.
3.2
Saran
Bagi pembaca diharapkan agar mengetahui apakah pengertian
dari negara dan konstitusi di Indonesia. Dengan mengetahui hakikat
dari negara dan konstitusi, diharapkan kita bisa menjadi warga negara yang baik
dan mampu melaksanakan segala peraturan yang tertuang dalam konstitusi secara
optimal.