METODE PENGAMBILAN HUKUM;
Dari Ushul Fiqh ke Maqasid SyariahOleh: Yusuf Abdallah☺
Pendahuluan
Diawali oleh revolusi Iran 1978, ada fenomena menarik terjadi dalam dunia Islam,
yaitu munculnya terma shohwah, kebangkitan atau pencerahan. Umat Islam
telah ‘sadar’ dan bangkit dari ‘tidur’nya yang panjang. Ada kesadaran di
kalangan umat bahwa kemunduran dan keterbelakangan umat Islam disinyalir karena
norma-norma, ajaran-ajaran, dan tuntunan-tuntunan agama sudah tidak match dengan
realita umat Islam, mereka tidak menjadikan agama sebagai the way of life lagi.
Kalaupun ada, itu hanya terbatas pada dimensi yang bersifat individual. Rupanya
ini adalah ekses dari penjajahan yang hampir menimpa seluruh negara-negara
bermayoritas muslim.
Dari fenomena diatas,
muncullah gerakan dan aliran yang mengusung slogan “al-Islam huwa al-hall”,
Islam adalah solusi alternatif setelah ‘kegagalan’ beberapa teori produk Barat,
seperti sosialisme dan kapitalisme. Slogan-slogan sejenis yang cukup menyedot
perhatian publik adalah tathbiq syariah, penerapan hukum Islam secara kaffah,
di segala bidang; politik, ekonomi, dan sosial. Ada keyakinan bahwa dengan nidhom
Islami semua krisis akan ‘terselesaikan’, umat Islam kembali menemukan masa
kejayaannya yang selama ini ‘hilang’.
Dengan semangat shohwah,
maka kran-kran ijtihad terbuka lagi setelah sekian lama ‘tertutup’.
Ajakan-ajakan ke arah sana demikian gencar, bahwa ijtihad adalah suatu
keniscayaan. Bahwa kondisi sekarang jauh sama sekali berbeda dengan kondisi
para imam mujtahid ketika memformulasikan metodologi Ijtihad. Namun ternyata,
pada tataran praktis, slogan-slogan di atas hanya sebatas slogan, ijtihad yang
ada hanya bersifat furu’i, belum ke arah yang mendasar. Para ulama yang
berkompeten di bidang ini lebih senang dan lebih ‘aman’ mengikuti metodologi
yang sudah ada. Usaha dari beberapa orang yang menyuarakan perlunya metodologi
baru selalu dihalangi dan tidak mendapat tempat karena dianggap tidak mumpuni,
belum selevel dengan para imam mujtahid masa lalu. Orang-orang seperti Abid
Jabiri, Hasan Hanafi, Ibn ‘Asyur, Hasan Turaby dan sederatan nama-nama lain
yang mengkampanyekan perlunya terobosan baru dalam metodologi pengambilan hukum
tidak mendapatkan respon positif karena dianggap tidak mempunyai kapabilitas di
bidang itu dan jauh dibawah kelas seperti Imam As-Syafi’i. Kemudian
dibuatlah tingkatan mujtahid secara hirarkis, dari mulai mujtahid mutlak
mustaqil, ghoir mustaqil, mujtahid fatwa dan seterusnya. Dan untuk mencapai
tingkatan pertama, disusunlah aturan-aturan yang amat ketat yang tidak bisa
dijangkau kaum intelektual sekarang.
Urgensi dan perkembangan Ushul Fiqh
Sebagaimana kita ketahui bahwa
ilmu urgensitas ushul fiqh amat dirasakan dalam menangkap
"pesan-pesan" Tuhan terutama yang berhubungan dengan amaliyah sehari-hari,
hubungan antar makhluq, dan bukan hanya pada masalah aqidah (teologi).
Upaya-upaya di kalangan dulu dalam membuat metodologi pengambilan hukum sungguh
amat penting bagi generasi selanjutnya dan perlu mendapatkan apresiasi yang
tinggi. Tetapi apa yang telah di rumuskan oleh pendahulu tadi bukanlah hal baku
yang tidak mengalami perkembangan dan bahkan perubahan, tetapi sebaliknya. Pada
era dimana ilmu tersebut lahir, Ushul fiqh telah mengalami perkembangan, bahkan
berbeda satu teori dengan yang lainnya. Ketika Syafi’I yang dianggap sebagai
peletak dasar ilmu diatas membatasi sumber hukum pada empat macam; Al-Qur’an,
Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, maka pengikut Hanafiah menambahkan istihsan sebagai
standar dalam istinbât al-hukm. Hal yang sama dilakukan oleh Malikiyah
dengan teori maslahah mursalahnya. Perbedaan itu – tentu saja- tidak
terbatas pada sources of law, sumber hukum semata, tetapi lebih jauh
dari itu. piranti yang digunakan pun berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Hal ini karena ada kesadaran bahwa teori yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid
tidak bisa menjawab semua problematika yang ada, maka muncullah teori baru
dengan harapan bisa mewakili dalam memberikan solusi umat. Dan begitu
seterusnya, akan muncul teori baru demi tuntutan masa yang terus bergerak.
Adalah Ibn Hazm (lengkapnya Abu Mohamad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm,
lahir 7 Nov 994 dan wafat 15 Agustus 1064) yang selama ini dianggap sebagai
penerus dari mazhab yang diprakarsai Daud Al-Asbihani (202-270 H)Þ, yaitu mazhab tekstualis, mazhab Zahiriyah, telah memainkan peran yang
sangat besar dalam mengembangkan dan mematangkan ilmu ushul: ushulul fiqh dan
ushulud dien.1
Hal ini bisa kita telusuri bahwa ada tiga dari empat dasar ilmu dalam buku
tersebut; al-‘Umdah karya Qodli Abd Jabar, Al-Burhan karya
Al-Juwaini, dan al-Mu’tamad kepunyaan Abi Hasan al-Basri, ada pada masa
Ibn Hazm. Sementara al-mustasfa-nya Al-Ghozali dianggap penting karena
ia merupakan ringkasan dari ketiga buku tersebut diatas. Maka tentu saja kita
bisa menggolongkan bahwa Ihkam fi ushul al-Ahkam nya Ibn Hazm termasuk
periode di atas. Dan yang menarik dari buku terakhir ini, kalau empat buku
pokok diatas –sebagaimana pengakuan penulisnya- mengikuti pola yang gariskan
Syafi’i, Hanafi atau Maliki, maka Ibn Hazm justru menolak ‘membebek’ hatta kepada
sahabat sekalipun, ia bahkan telah membuat langkah maju dengan membuat
metodologi baru yang berbeda sama sekali dengan pendahulunya.
Kalau imam As Syafi’i menjadikan empat pokok; Al-Qur’an, al-Sunah, Ijma’
dan Qiyas, sebagai sumber hukum, maka dalam teorinya Ibn Hazm sumber-sumber
yang bisa dijadikan dasar hukum terbatas pada empat hal; Al-Qur’an, Al-sunah,
Ijma’ dan al-dalil. Teori dalil yang ditawarkan Ibn Hazm sebagai ganti
dari qiyas menggunakan qiyas mantiqi yang mengandung dua premis; mayor dan
minor. Salah satu dari dua premis tadi harus berupa nash dan lainnya bisa
ijma’ atau hal-hal yang bersifat aksiomatik (badîhiyyah).
Demikian pula pengertian
ijma’ versi Ibn Hazm tidak sama dengan para pendahulunya. Kalau Ijma’ versi
kebanyakan para usuliyun adalah konsensus ulama atas hukum yang tidak
ada nashnya dengan ro’yu mereka atau dengan mengkiyaskan pada hukum yang
telah ada nashnya, maka ini berbeda dengan ijma’ versi Ibn Hazm. Karena
menurutnya tak ada ijma kecuali dari teks/nash. Selanjutnya ia menambahkan: tak
ada jalan untuk mengetahui hukum-hukum agama tanpa menggunakan salah satu dari
keempat pokok yang kesemuanya kembali pada teks, teks itu diketahui
kewajibannya, dan dipahami artinya dengan akal.2
Ibn Hazm menggunakan teorinya yang baru ini dalam rangka menjawab problematika
umat pada saat itu, Masa dimana krisis moral dan krisis sosial melanda begitu
hebatnya, para Fuqaha justru menjadi ‘support’ dan legitimitator penguasa akan
kondisi di atas. Teori qiyas dan istihsan sering ‘diekploitasi’
untuk kepentingan sekelompok golongan.3
Terlepas apakah metode Ibn Hazm masih relevan atau tidak untuk kontek kekinian,
tetapi ia telah memberikan solusi alternative dalam menjawab problematika umat
dengan metode barunya yang –paling tidak- dibutuhkan pada zamannya.
Ushul Fiqh hampir tidak mengalami perkembangan yang signifikan, yang ada paling
sekedar komentar atau sedikit penambahan –penambahan yang tidak begitu essensi,
dan berkutat pada masalah-masalah yang sudah ada. Barulah ketika Abu Ishak
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi yang lebih dikenal dengan
Al-Syatibi (730 H) membuat formulasi baru dalam ilmu ushul fiqh yang tertuang
dalam karyanya al-Muwâfaqât, sebuah buku yang selalu menjadi rujukan
utama oleh orang-orang setelahnya.
Syatibi melihat ada yang kurang dan ‘terlupakan’ dalam metodologi yang dipakai
orang-orang dahulu. Atau lebih tepatnya formulasi ushul fiqh yang ada saat itu
kurang memberikan jawaban pada problematika yang dihadapi umat, karenanya
dianggap perlu memformat ulang kerangka ushul fiqh.
Proyek besar Syatibi ini
perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi bukan hanya karena ia telah
menjembatani dan mencari titik temu dari dua teori yang berbeda; Malikiah
dan Hanafiah, tetapi lebih dari itu ia telah memberikan ‘roh’ terhadap ushul
fiqh yang selama ini tampak kering dan gersang. Roh dari syariat yang selama
ini tidak mendapatkan concern yang tinggi dari pendahulunya, yaitu masalah maqasid
syariah.
Dalam Al-Muwâfaqât, Syatibi
mencoba memformat ulang ushul fiqh yang selama ini terkesan tidak bisa
beradaptasi dengan lingkungan. Pembahasan maqasid tidak lagi menjadi
pembahasan sekunder, tapi Syatibi memberikan porsi yang cukup untuk pembahasan
ini. Selain itu manhaj yang dipakai Syatibi berbeda dengan pendahulunya, ia
ingin menjadikan ilmu ini sebagai ilmu burhani, ilmu yang berlandaskan
pada dalil qoth’i. Dalam muqadimahnya ia menyebutkan bahwa ushul fiqh dalam
agama adalah pasti/qoth’iah bukan dzonniah. Karenanya Abid Jabiri
menganggap bahwa apa yang dilakukan Syatibi adalah dalam rangka ta’sil usul
syariat, menetapkan pokok-pokok syariat, membuat ushul fiqh baru.4
Muwafâqat adalah
usaha merekonstruksi paradigma berfikir dalam istinbath hukm yang
berdasarkan pada maqâsid syariat dari yang sebelumnya –semenjak Syafii-
bersandarkan pada “investasi teks”, pencarian illat dan qiyas.
Meski pada dasarnya kedua teori ini berangkat dari starting point yang sama,
bahwa hukum-hukum syariat yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, akan
tetapi bukan hukum serampangan yang tidak berdasarkan pada logika, produk hukum
yang bisa dirasionalkan dan mengandung hikmat.
Karena Syar’i tidak
menjelaskan segi rasionalitas dan hikmat pada sejumlah besar hukum –misalnya
Tuhan tidak menjelaskan sebab pengharaman minum arak, sebab musabab haramnya
zina- dan bahwa hukum-hukum yang termaktub dalam Qur’an dan Hadits sangat
terbatas untuk menampung semua permasalahan yang terus berkembang, maka seorang
mujtahid dituntut untuk membuat standar ‘rasionalisasi’ agar kasus-kasus baru
bisa terakomodir.
Disinilah perbedaan dua
teori diatas;
1. Teori yang
bersandarkan pada qiyas, ta’lil dan teks. Teori ini mencari ‘illat dari
hukum yang ada dengan asumsi bahwa Tuhan menetapkan illat tersebut dalam
mengeluarkan sebuah hukum, kemudian menetapkan hukum yang sama pada setiap
kasus yang mempunyai illat yang sejenis. Contoh seperti pengharaman arak.
Terdapat nash yang menyebutkan secara shorih bahwa arak itu haram,
tetapi tidak disebutkan illat pengharamannya. Maka ditetapkanlah illat yang dijadikan
standar munculnya hukum diatas, yaitu “memabukkan” (memabukkan bisa merusak
fungsi otak dan menggugurkan taklif). Kemudian hukum yang sama (haram)
diterapkan pada perasan anggur/nabidz dan minuman sejenis yang mengandung
alkohol karena illat yang sama, yaitu: iskâr (memabukkan).
Inilah yang biasa disebut dengan teori qiyas. Teori ini sederhana dan mudah
untuk diterapkan, tetapi itu hanya bisa diterapkan pada hal-hal yang sejenis,
arak dan nabidz misalnya. Tetapi ketika dihadapkan pada persoalan yang tidak
sejenis dengan yang ada, maka akan sulit menerapkan teori di atas, dan
pencarian illat terkesan dipaksakan. Disamping kadang teori ini sering
‘terbelenggu’ oleh teks. ketika ada teks yang mengharamkan khamr, teori
qiyas akan membawa seorang mujtahid untuk menentukan makna teks itu sendiri
pada saat kemunculannya, lalu bentuk larangan dengan menggunakan “ijtanibû”,
apakah mengikat (mulzim) atau tidak. Belum lagi persoalan bagaimana
membedakan apakah satu lafadz dimaksudkan untuk satu kasus tertentu dan tidak
melebar ke kasus yang lainnya ataukah lafadz tersebut dimaksudkan keumumannya.
Dan tentu untuk membedakannya kembali kepada dzon. Karenanya semua
produk fiqh yang dihasilkan dengan menggunakan teori ini sifatnya dzonni. 5a
2. Teori yang menjadikan maqasid sebagai titik tolak. Teori ini tentu
saja lebih luwes dan fleksibel, lintas ruang dan waktu. Mengingat tujuan awal
dari syariat adalah untuk kemaslahatan manusia, maka mempertimbangkan
maslahat dijadikan dasar dalam rasionalisasi hukum, dan sekaligus
sebagai dasar bagi point-point berikutnya.
Melacak akar terma maqasid
syariah
Terma maqasid menempati urgensitas tersendiri melebihi terma-terma ushul fiqh
yang lain. Terma yang dimunculkan dan disistematiskan oleh Syatibi ini
mendapatkan respon yang menggembirakan dari berbagai pihak, orang-orang dahulu
maupun orang sekuler, golongan konservatif atau pembaharu. Semuanya sepakat
bahwa topik maqasid perlu mendapatkan porsi yang tinggi. Karena
disitulah sebenarnya inti dari syariat.
Syatibi bukanlah orang pertama yang menggulirkan terma ini. Jauh sebelum
Syatibi, Abu al-Ma’ali Al-Juwaini yang lebih dikenal dengan sebutan Imam
Haramain (w.478 H) telah menggagas permasalah ini dengan melontarkan ide maqasid
syariat sebagai ‘ilmu baru’ yang mempunyai karateristik ‘kepastian’
dalil-dalilnya dan melampaui perbedaan-perbedaan mazhab fiqh dan bahkan dari
ushul fiqh yang bersifat dhoniyyah itu sendiri. Dalam bukunya yang cukup
mengundang kontroversi Ghiyâts al-umam fi al-tayâts al-dzulam, Juwaeni
mengungkapkan keprihatinannya akan kemerosotan peradaban sosial, terutama
cendekia dan politisi Islam. Dan menurutnya untuk keluar dari kondisi ini tak
ada cara selain “membangun maqasid syariah yang universal dan mengangkatnya
dari level zhonni –sebagai karakteristik ushul fiqh- ke level qoth’i.5
Meski konsep yang ditawarkan Al-Juwaini ini tidak begitu dalam dibanding dengan
Syatibi misalnya, tapi paling tidak ia telah memberikan andil yang cukup besar
–dibanding tokoh-tokoh semasanya- dalam menggulirkan ide di atas. Dan itu juga
dijadikan sebagai pijakan dan inspirasi orang-orang setelahnya, termasuk
Syatibi sendiri.
Lebih jauh lagi apa yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Al-Raisuny dari
penelitiannya bahwa terma maqasid syariah telah digunakan oleh
orang-orang sebelum Imam Haramain. Tokoh-tokoh yang memberikan concern terhadap
tema ini antara lain;6
Al-Turmudzi Al-Hakim (abad III), dia termasuk orang yang pertama kali
menggunakan dan menggulirkan terma maqasid, meski dengan teorinya yang
khas, seperti yang tertuang dalam karyanya, al-shalat wa maqasidiha.
Berikutnya adalah Abu Mansur al-Maturidi (w.333), Abu Bakar Al-qaffal (w.365),
Abu Bakar Al-Abhary (w.375), Al-Baqillani (w.403), dilanjutkan Imam Haramain,
Imam Ghozali (w. 505), Al-Razi (w. 606), Al-Amudy (w.631), Ibn Hajib (w. 646),
Izzudin Abd Salam (660) yang tertuang dalam karyanya qawaid al-ahkam fi
masholih al-anam, Baidlowi (w.685), Al-asnawi (w.772), Ibn Subuki (w.771),
dan beberapa tokoh lainnya.
Itulah sederet tokoh-tokoh yang memberikan concern terhadap urgennya maqasid.
Namun begitu, mereka belum menawarkan konsep yang komprehensif seperti yang
ditawarkan oleh Syatibi. Karenanya adalah wajar ketika Syatibi dianggap sebagai
Bapak Maqasid Syariat, sebagaimana Imam Syafi’i diklaim sebagai pendiri ilmu
ushul fiqh.
Namun sayang proyek besar Syatibi dengan mengangkat tema maqasid ini tidak
didukung oleh kondisi saat itu, kondisi dimana umat Islam sedang mengalami
krisis pemikiran karena buku al-muwafaqat yang memuat rumusan-rumusan
lengkap tentang maqasid syariat ditulis kira-kira setengah abad sebelum
runtuhnya kota Granada, wilayah umat Islam yang paling akhir di Andalusia,
Spanyol. Akhirnya karya besar itu terkubur begitu saja dan tidak
ditinjaklanjuti oleh generasi berikutnya. Baru pada tahun 1884 M buku al-muwafaqat
mulai dikenal dan dikaji pertama kali di Tunis. Sejak saat itulah orang
mulai ‘memanfaatkan’ dan mengkaji konsep maqasidnya Syatibi.
Dan ide mengenai ilmu
baru “ilmu maqasid Syariah” kembali muncul di abad 20 dengan Muhammad
Thohir ibn ‘Asyur (1879-1973 M) sebagai tokohnya. Bahkan tokoh besar asal
Tunisia ini dianggap sebagai bapak Maqasid kontemporer, setelah Syatibi. Dialah
yang paling ‘serius’ menggolkan konsep ilmu baru ini sebagai ilmu yang terlepas
dari ushul fiqh setelah sebelumnya merupakan bagian darinya.
Maqasid Syariat
sebagai ilmu tersendiri
Sebagaimana disebut dimuka bahwa ide pen-ta’sis-an ilmu maqasid telah
digulirkan oleh ulama-ulama dulu. Dan pada era kontemporer ini ide itu
diteruskan oleh Ibn ‘Asyur yang tertuang dalam bukunya “Maqasid Syariah”.
Sebenarnya Ibn ‘Asyur pun bukan satu-satunya orang yang pertama kali mengangkat
tema itu pada masa kontemporer. Sebelumnya, tema yang sama diangkat oleh
Mohamad Munir ‘Imron dalam disertasi yang diajukan pada madrasah Qadla
al-syar’i di Mesir tahun 1930 M dengan judul “qosd al-syari’ min wadl'i
al-syariat”, dan seorang Faqih asal Tunis yang semasa dengan Ibn ‘Asyur,
Mohamad Abd Aziz telah membahas topik diatas dan dimuat di majalah Al-Zaetuniyah
tahun 1936 M dengan judul “Maqasid Syariat wa asrar al-tasyri’".7
Tetapi memang karyanya Ibn ‘Asyur yang pertama kali diterbitkan tahun 1946 M
merupakan satu-satunya kajian yang memberikan corak lain bagi maqasid syariat
dari yang mulanya bagian dari ushul fiqh menjadi ilmu tersendiri.
Ide di atas muncul karena menurut kacamatanya, ilmu ushul fiqh sudah tidak bisa
memenuhi kebutuhan zaman secara maksimal, karena memang ia diformat sesuai
dengan kondisi pada saat itu, bahkan dengan karateristik fiqhiyyah yang
cenderung mengutamakan persoalan-persoalan individu dari pada kepentingan
sosial. Selain itu ushul fiqh terkesan ‘mandul’ dalam memproduksi hukum-hukum
yang bersifat universal dan lebih substansial, disamping ketidakmampuannya
meminimalisir perbedaan pendapat yang berkembang, karena masih berlandaskan
pada dasar-dasar yang bersifat zonni. Karenanya perlu ada format baru
yang bisa takayyuf, beradaptasi dan sanggup memenuhi kebutuhan zaman
yang semakin global. Dan format baru itu bernama ilmu maqasid syariat. 8
Tidak dapat dibantah bahwa proyek Ibn ‘Asyur ini banyak terilhami –dan ini diakuinya
sendiri- dari konsep-konsep sebelumnya– Izuddin Abd Salam, Qarafie dan terutama
sekali adalah Al-Syatibi. Tetapi ia melihat –tanpa mengurangi apresiasinya yang
tinggi pada Syatibi- bahwa Syatibi kadang melupakan hal-hal yang mestinya
mendapat perhatian yang penuh, sehingga apa yang diinginkan tidak tercapai.8a
Jadi apa yang dilakukan
oleh Ibn ‘Asyur tidak bisa dikatakan ‘membebek’ tanpa kreasi dengan
sekedar memberikan catatan –catatan kecil dan contoh– contoh baru pada
konsepnya Al-Syatibi. Justru ia telah memberikan inovasi baru dan bahkan
melampaui dari apa yang dilakukan Syatibi. Ibn ‘Asyur mengikuti jejaknya
Syatibi tetapi tidak mengekor padanya.
Kreasi
konstruktif Ibn ‘Asyur
Kreasi inovatif yang dilakukan
Ibn ‘Asyur bisa dikembalikan pada dua pokok bagian; pertama; menetapkan
pokok-pokok maqasid, kedua; penambahan-penambahan terhadap teori
maqasid.
Pada bagian pertama,
selain menjelaskan pokok-pokok maqasid, iapun menampilkan –secara metodologis-
dominasi cara pandang maqasidy, dan mampu membedakan antara kaidah istinbat
lughowi dan sudut pandang maqasid syariah. Pokok-pokok maqasid yang
ditetapkan Ibn ‘Asyur digolongkan menjadi tiga bagian;9
A. Qawaid maqasid ‘ammah.
Disebutkan oleh Ismail Hasani ada 23 kaidah umum yang
ditetapkan Ibn ‘Asyur, yang antara lain adalah; 1. kaidah bahwa “semua
hikmat dan illat syariat adalah demi kemasalahatan umum, baik sosial dan
individu”. 2. terbangunnya maqasid kepada fitrah. Dari kaidah ini muncul muncul
maqsid-maqsid yang lain; egaliter (musawat), kebebasan (hurriyat)
dan toleran (samahah).
B. Qawaid maqasid Khos.
-Tujuan syari’dari
muamalah adalah menentukan macam-macam hak kepada pemiliknya.
-Tujuan pemberlakuan hukuman
adalah ta’dib bagi pelakunya, memuaskan korban, dan menghindari
perbuatan serupa dari orang lain.
- Tujuan dari tasarrufat
maliyah adalah berputarnya keuangan, menjaganya, dan berlaku adil.
- Dan masih banyak lagi.
C. Kaidah menetapkan maqasid Syariah
Ada tiga cara menurut Ibn ‘Asyur untuk dapat mengetahui
maqasid Syariat.10
Pertama; melalui istiqra’, mengkaji syariat dari semua aspek, dan ini
ada dua macam;
A; mengkaji dan meneliti semua hukum yang diketahui
illatnya. Dengan meneliti illat, maqasid akan dapat diketahui dengan mudah.
Contoh; larangan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain, demikian juga
larangan menawar sesuatu yang ditawar orang lain. Illat dari larangan itu
adalah keserakahan dengan menghalangi kepentingan orang lain. Dari situ dapat
diambil satu tujuan/maqsad yaitu langgengnya persaudaraan antara saudaranya
seiman. Dengan berdasarkan pada maqsad tadi maka tidak haram meminang pinangan
orang lain setelah pelamar pertama mencabut keinginannya itu.
B; meneliti dalil-dalil hukum yang sama illatnya, sampai
dirasa yakin bahwa illat tersebut adalah maqsadnya, seperti banyaknya perintah
untuk memerdekakan budak menunjukkan bahwa salah satu maqasid syariat adalah
adanya kebebasan.
Kedua; Dalil-dalil Al-Qur’an yang jelas dan tegas
dalalahnya yang kemungkinan kecil mengartikannya bukan pada makna dhohirnya.
Ketiga; Dalil-dalil Sunnah yang mutawatir, baik secara
ma’nawi atau amali.
Demikianlah ijtihad dari seorang Ibn ‘Asyur, yang dengan tegas menyatakan bahwa
ilmu maqasid bisa dijadikan alternatif dalam menggali hukum. Dengan menggunakan
ilmu ini maka akan tercipta hukum fiqh yang hidup dan dinamis.
Meski proyek Ibn ‘Asyur ini –dianggap – belum final, tapi paling tidak dia
telah melakukan terobosan spektakuler dan memberikan sumbangan yang berharga
bagi generasi berikutnya dalam menggali dan merumuskan formula maqasid yang
lebih detail.
Al-Maslahah asas tasyri’
Dimuka telah disebutkan bahwa dalam rangka mencari format metode pengambilan
hukum yang ideal, sebagian ulama dengan Syatibi sebagai pelopornya mencoba
untuk merekonstruksi kembali ushul fiqh dengan berlandaskan pada maqasid
syariah yang sebelumnya bergantung pada ‘sebatas’ qiyas, mengkiaskan
kasus-kasus yang tidak ada teksnya pada kasus yang sudah ada teksnya.
Titik tolak mereka
adalah aksioma yang tak dapat dibantah oleh siapapun bahwa “Penerapan
Syariat adalah demi kemaslahatan umat”, sementara maqasidnya, berdasarkan pada
kaidah tadi, tak akan keluar dari tiga bagian; dlorûriyyat (primer),
hâjiyât (sekunder) dan tahsiniyât (tersier).
Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang apabila hal ini tidak ada,
maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan. Ia harus
ada dan dijaga dari cacat dan segala kekurangan. Maslahah Hajiyyat
adalah sesuatu yang dibutuhkan demi menghindari kesuliatan dan masyaqat, seperti
keringanan berbuka puasa bagi orang sakit dan musafir. Sementara Maslahah
Tahsinat adalah mengambil sesuatu yang dianggap baik oleh akal dan
menghindari hal-hal yang akal tidak menerimanya.
Kemudian ditetapkan pula
bahwa dharuriyyat itu adalah sesuatu yang pokok, menjadi landasan
untuk dua maslahah berikutnya; hajiyat dan tahsinat. Hal ini
berlandaskan bahwa kemaslahatan itu didasarkan pada lima pokok; agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Kelimanya adalah hak asasi semua manusia tanpa
kecuali berdasarkan pada istiqra’, tidak saja dari agama Islam, bahkan
juga dari syariat-syariat lain. Semua sepakat bahwa lima hal diatas adalah
sesuatu yang prinsipil bagi manusia tanpa melihat agama, golongan dan ras.
Pertanyaannya kemudian apakah urutan dan jumlah diatas sudah baku dan tidak perlu
di tinjau kembali atau sebaliknya?
Semua sepakat bahwa
susunan kelima dharuriyyat diatas bersifat ijtihady bukan naqly,
artinya ia disusun berdasarkan istiqra. Karenanya dalam merangkai kelima
dharuriyyat ini (ada juga yang menyebutnya dengan al-kulliyyat
al-khamsah), tidak ada keseragaman di antara ulama, tetapi kebanyakan ulama
salaf menempatkan agama pada urutan pertama. Padahal agama tidak bisa di capai
kecuali dengan akal, dan akal tak berfungsi kecuali dalam keadaan hidup.
Karenanya –dalam pandangan ulama sekarang- urutan di atas perlu ditinjau ulang
kembali.11
Dan urutan yang realistis adalah sebagai berikut; 1. jiwa atau hidup. Ia adalah
anugrah Tuhan kepada hambanya, mukmin atau kafir. 2, akal. Ia adalah menjadi
syarat adanya taklif. 3, agama. Karena agama hanya bisa dicapai dengan akal. 4,
keturunan, yang tidak saja berarti menjaga dari percampuran nasab tetapi lebih
luas lagi menjaga harga diri bangsa dan menjaga hak-hak manusia secara umum. 5,
harta yang tidak terbatas pada harta perorangan, tetapi juga kekayaan milik
negara, menjaga dari korupsi dan monopoli.
Mengenai point-point maqasid
yang dibatasi lima poin sebagaimana telah disebut di atas adalah hasil
penelitian yang tentu saja akan mengalami perubahan dan perkembangan dari satu
masa ke masa lainnya. Tetapi ini bukan berarti bahwa diantara kelima itu ada
yang sudah tidak dlorury lagi dan perlu dihapus, bahkan menambahkan
maqasid yang sudah ada. Bahwa lima diatas adalah hak asasi setiap individu itu
benar, tetapi permasalahannya bahwa hak asasi itu terus mengalami perkembangan,
ini juga mesti mendapatkan porsi agar dimasukan kedalam maqasid syariah.
Beberapa ulama sudah
melakukannya dan ‘merekomendasikan’ untuk menambahkan beberapa point selain
yang lima. Ibn ‘Asyur menambahkan maqsid musawat, toleran dan
hurriyah,12
‘Ishom Anas Al-Zaftawi merekomendasikan maqsid al-kaun untuk ditambahkan
dan ditempatkan sebelum maqsid mal,13.
Abid Jabiri mengusulkan banyak point untuk dimasukan dalam maqasid seperti;
hak menyatakan pendapat, kebebasan berpolitik, hak memilih pemimipin dan menggantinya,
hak mendapatkan sandang pangan, hak mendapatkan pendidikan dan masih banyak
yang lain.14
Beberapa ulama yang lain
memanggap bahwa point-point yang diusulkan sudah terwakili oleh 5 poin
sebelumnya, tinggal bagaimana kita mengembangkan pengertian dari kelima poin
diatas. Seperti pemahaman tentang harta tidak hanya sebatas harta perorangan
tetapi juga harta umat dan lain sebagainya. Dan dari kelima dloruriyat diatas,
maka hak-hak manusia yang perlu di jaga menjadi berkembang, sesuai yang
diusulkan oleh pemikir-pemikir diatas. Perincinanya adalah sebagai berikut; 1.
hak-hak manusia yang berhubungan dengan maqsid jiwa adalah; hak hidup, hak
kebebasan, hak egaliter, hak keadilan, hak perlindungan dari aniaya dan
perlakuan lalim, hak melindungi privacy, hak menetap, hak mendapatkan kebutuhan
yang bisa melestarikan kehidupannya. 2. hak-hak yang berkaitan dengan dloruriyat
akal adalah sebagai berikut; hak pendidikan, hak berpikir dan berpendapat.
3. hak-hak manusia yang termasuk dalam maqsid agama; hak berdakwah, hak
suaka, hak-hak minoritas keagamaan, hak bermasyarakat. 4. berkaitan dengan
harga diri dan kehormatan; hak menjaga kehormatan dan reputasi, hak menjalin
keluarga dan menjaganya. Dan hak-hak yang berada dalam sekup maqsid mal;
hak –hak keuangan, hak mendapatkan kebutuhan yang mencukupi.
Memang dengan
‘pancasila’nya maqasid, semua hak-hak manusia bisa terakomodir
didalamnya, termasuk misalnya, kesamaan, kebebasan. Tetapi kalau itu
dijadikan item tersendiri tentu berbeda dengan ketika ia masuk dalam sub poin.
Dan ini perlu dilakukan kalau kita tidak ingin disebut sebagai “pembebek”.
Penutup
Kajian tentang maqasid memang
lagi banyak mendapatkan perhatian yang serius. Terbukti dengan makin banyaknya
disertasi doktoral atau majester yang mengangkat wacana ini. Dan semua sepakat
akan urgensinya diskursus ini dan perlu dikembangkan dan dijadikan kurikulum
wajib di sekolah-sekolah secara sistematis dan -tentu saja – terpisah dari
induknya “ushul fiqh”.
Lebih jauh dari itu, maqasid syariat, memahaminya secara sempurna dan
mampu beristinbat dari pemahamnnya itu –sebagaimana di sebutkan Syaitbi
dalam muwafaqatnya-15adalah
syarat mutlak untuk mencapai tingkatan ijtihad.
Lalu apakah ini berarti bahwa maqasid syariat merupakan ilmu tersendiri
seperti yang dikampanyekan Ibn ‘Asyur atau masih bagian yang tak terpisahkan
dari ushul fiqh seperti yang diamini oleh kebanyakan ushuliyyun? Menurut
Al-Raisani selama disepakati perlunya mengembangkan dan memberikan consern yang
tinggi terhadap maqasid syariat, maka pertanyaan itu tidak begitu
penting. Seperti yang dikemukakan Abdullah Dirâz, ada dua unsur utama dalam
pengambilan hukum; ilmu lisan arab dan ilmu asrar maqasid syariat.16
Apapun namanya memang tidak menjadi persoalan, apakah itu
masih menggunakan nama ushul fiqh yang telah direvisi ataukah dengan nama baru
“maqasid syariat”. Tetapi penulis lebih setuju dengan pilihan terakhir
agar kita tidak terkesan selalu ‘membebek’ dan hanya melakukan polesan
disana-sini. Jargon al-muhafadzah ala al-qodim al-sholih wa akhdz bi al-jadid
al-aslah perlu ditinjau ulang lagi kalau kita tidak ingin selalu dibawah
bayang-bayangnya salafiyyun. Terima kasih.
Daftar pustaka
- Abdul Halim 'Uweis, Dr. Ibn
Hazm al-Andalusia; Al-Zahra lil I'lam al-arabi cet II 1988
- Abid Jabiri, Moh, Binyât
al'aql al-Araby, Dar baidlo', Dar Nasyr Al-Maghribiyah, cetVII
2000
- _______________, al-din
wa al-daulah wa tatbiq al-syariah, Beirut, Markaz Dirasah al-wahdah
al-Arabiyah, cet ke I 1996
- Al-Raisuny, Ahmad, Nadzariyyah
al-maqasid 'ind al-Imam Al-Syatibi, IIIT cet ke IV th 1995 hal
40-seterusnya.
- Al-Shoghir, Abd Majid, Al-fikr
al-Ushuly wa isykâliyyat al-sulthoh al-ilmiyyah fi al-Islam, Beirut,
Dar al-Muntakhob al-Arabi, cet I 1994
- Ibn 'Asyur, Moh Thahir, Maqasid
Syariat Al-Islamiyyah, di tahqiq Moh Thahir al-Maysawi, Yordan, Dar
Nafais, cet II tahun 2001 M
- Ismail Hasani, Nadzariyyat
al-maqasid 'inda Mohamad Thahir Ibn 'Asyur, IIIT cet I 1995
- Majalah Al-Muslim
AL-Mu'asir edisi 23 tahun 2002.
☺ Mahasiswa tk akhir
Aqidah Falsafah, Azhar University.
Þ anggapan bahwa Ibn Hazm
‘hanyalah’ seorang pengikut dan penerus mazhab dhorihiyah adalah kurang tepat,
karena ia mempunyai konsep yang berbeda dari Daud nya sendiri, meskipun
sama – sama menggunakan metode literal, bahkan tidak sedikit orang yang
menyebutnya dengan mazhab al-Hazmiiyah.lihat; Ibn Hazm al-Andalusia
karya Dr. Abdul Halim ‘Uweis; Al-Zahra lil I’lam al-arabi cet II 1988.
hal 89
1 Abid Jabiri, Moh, Binyât al’aql al-Araby, Dar baidlo’, Dar Nasyr
Al-Maghribiyah, cetVII 2000 hal 492
2 Al-Ihkam, dikutip dari Abid jabiri. 492
3 Dr. Abdul Halim ‘Uweis, op.cit.hal 88
4 Jabiri; op.cit hal 519
5a Jabiri, al-din wa al-daulah wa tatbiq al-syariah, Beirut, Markaz
Dirasah al-wahdah al-Arabiyah, cet ke I 1996 hal 170-173
5 Al-Shoghir, Abd Majid, Al-fikr al-Ushuly wa isykâliyyat al-sulthoh
al-ilmiyyah fi al-Islam, Beirut, Dar al-Muntakhob al-Arabi, cet I 1994 hal
356
6 Al-Raisuny, Ahmad, Nadzariyyah al-maqasid ‘ind al-Imam Al-Syatibi, IIIT
cet ke IV th 1995 hal 40-seterusnya.
7 Majalah Al-Muslim
AL-Mu’asir edisi 23 tahun 2002
8 Ibn ‘Asyur, Moh Thahir, Maqasid Syariat Al-Islamiyyah, di tahqiq
Moh Thahir al-Maysawi, Yordan, Dar Nafais, cet II tahun 2001 M hal 172
8a ibid. hal 174
9 Ismail Hasani, Nadzariyyat al-maqasid ‘inda Mohamad Thahir Ibn ‘Asyur,
IIIT cet I 1995, hal 426
10 Ibn ‘Asyur, op.cit hal
190-195
11 Hanafi, Hassan, maqasid syariat wa ahdaf umat, majalah al-muslim
mu’asir. Hal 84. lihat pula Dr. Aly Jum’at Mohamad, Al-Madkhal, IIIT cet
I 1996 hal 127
12 Ibn ‘Asyur, op.cit hal 249 dan seterusnya
13 Al-Zaftawi, Ishom, nazariyyat maqasid muhâwalah li al-tasyghil, majalah
al-Muslim Al-mu’ashir 196
14 Jabiri, Abid, al-din wa al-daulah wa tatbiq al-syariah,
loc.cit, hal 190
15 dikutip oleh
Al-Raisuni, op.cit. hal 353
16 ibid, 387