“Munggahan” ala Rasulullah
Ramadlan
segera tiba. Banyak tradisi yang biasa dilakukan masyarakat menyambut
Ramadlan ini. Ada yang berziarah ke makam wali, ada yang ziarah ke makam
orang tua, syekh atau ulama penyebar Islam. Ada juga dengan cara mandi
di sungai, mandi di laut bahkan. Tradisi mandi ini dikenal pada tradisi
Minang, yang terkenal dengan nama Balimau, yang diambil dari nama “limau” salah satu jenis jeruk yang biasa dipakai untuk berkeramas pada zaman dahulu. Maknanya adalah mandi menggunakan beberapa rempah (serai, pandan dan limau/jeruk nipis) sewaktu memasuki bulan suci Ramadlan. Ada yang meyambut bulan Ramadlan dengan cara makan bersama-sama, baik dengan keluarga dekat atau bahkan dengan masyarakat (babancakan; botram) di pegunungan, di sawah, dan bukit-bukit (tempat rekreasi) atau dikenal dengan istilah Munggahan. Dewasa ini, acara munggahan pun menjadi lebih beragam. Untuk beberapa komunitas yang lebih maju lagi, dapat berupa pengajian, atau tadabbur alam.
Namun pada intinya tetap berakhir pada kegiatan “makan siang” bersama
sebelum masuk bulan Ramadlan, dimana hal itu tidak dapat dilakukan.
Namun meski demikian, tradisi ini pada mulanya memiliki nilai yang sangat mendalam. Dari segi bahasa saja, munggahan secara etimologis berasal dari kata unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Kata unggah dalam kamus Basa Sunda berarti kecap pagawean nincak ti han-dap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata,
2006: 727), artinya kata kerja beranjak dari bawah ke yang lebih atas,
naik ke tempat yang lebih atas. Di dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992),
munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadlan. Munggah dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan yang luhur derajatnya. Dari kata munggah
tersebut tersirat perubahan, baik secara lahiriyah dan mestinya
batiniyah juga. Secara lahiriyah misalnya, kita harus menahan diri dari
rasa haus dan lapar. Jadwal makan berubah dari biasanya. Tapi seharusnya
berubah juga dalam pemikiran, kekhusyuan ibadah, kearifan dalam
menyikapi hidup, dan lain sebagainya, tentu ke arah yang lebih baik.
Momen menyambut bulan Ramadlan dengan gaya seperti ini jelas harus direnungkan kembali. Padahal Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam, seperti dikisahkan oleh istrinya Aisyah ummu al-mu`minin, beliau membiasakan untuk memperbanyak shaum sunnah-nya pada bulan Sya`ban guna mempersiapkan diri untuk menghadapi bulan Ramadlan. Aisyah menyampaikan:
فَمَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ
صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا
مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Aku tidak melihat Rasulullah shalallahu
`alaihi wa sallam melaksanakan shaum sebulan penuh kecuali di bulan
Ramadlan, dan aku tidak melihat beliau lebih sering shaum (dalam
sebulan) daripada saat bulan Sya`ban.” (HR. Bukhari dalam kitab as-shaum, bab shaum Sya`ban, no. 1969)
Prakteknya adalah dengan cara memperbanyak shaum-shaum sunnah, baik itu Senin-Kamis, ayyamul bidh (shaum pertengahan bulan Hijriah), shaum Daud. Ataupun dengan cara memanfaatkan bulan Sya`ban ini untuk melaksanakan qadla (mengganti) shaum Ramadlan. Sebagaimana biasa dilaksanakan Istri-istri Rasulullah, seperti dijelaskan oleh Aisyah:
كَانَ
يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ
أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku masih punya hutang puasa
Ramadlan. Tetapi aku belum membayarnya sehingga tiba bulan Sya'ban,
barulah kubayar, berhubungan dengan kesibukanku bersama Rasulullah
shalallahu `alaihi wa sallam” (HR. Muslim kitab as-shiyam bab qadla Ramadlan fi Sya`ban no. 1146)
Melihat kebiasaan Rasulullah tersebut, Usamah bin Zaid radiyallahu `anhu bertanya kepada beliau:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا
تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: «ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ
بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ
إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا
صَائِمٌ»
“Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku
tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan sebagaimana engkau
berpuasa di bulan Sya`ban?” Beliau bersabda: “Itulah bulan
yang dilupakan orang-orang; bulan itu berada di antara bulan Rajab dan
Ramadlan, padahal pada bulan itu amal-amal perbuatan diangkat kepada
Rabb semesta alam, dan aku senang jika amalku diangkat ketika aku sedang
shaum.” (HR. An-Nasai kitab as-shiyam bab shaumin-Naby bi abi huwa wa ummi no. 2357, derajatnya hasan menurut al-Albani)
Persiapan shaum Ramadlan (baca: munggahan) yang dilakukan Rasulullah adalah dengan shaum
Sya`ban, maka pantas ketika Ramadlan itu pergi beliau sampai menangis
sedih ditinggalkan bulan Ramadlan, yang sangat beliau hormati dan cintai
tersebut. Berbanding terbalik dengan kebiasaan tradisi kita, setelah
menyambut shaum Ramadlan dengan “makan siang bersama”, maka
pantas meninggalkan Ramadlan dengan pesta besar (menyalakan petasan,
kembang api atau takbiran semalam suntuk), dan dipungkas dengan “makan
besar” Hari Raya.
Maka kini kita pantas bertanya kepada diri kita masing-masing, mau ber-munggahan ala Sunda dengan makan-makan? Ber-munggahan ala Minang dengan “keramasan” bersama? Ataukah mau ber-munggahan ala Rasulullah dengan memperbanyak shaum Sya`ban? Sama-sama dengan motif menghormati bulan Ramadlan, namun dengan pelaksanaan yang berbeda. Memilih tradisi atau sunnah Rasulullah? Wallahu a`lam.