“Demokrasi dan Implementasinya di Indonesia”
Demokrasi Definisi dan Aplikasi
Asal
kata demokrasi dari bahasa latin, Yunani, bermakna sistem pemerintahan agresif
dan tidak stabil cenderung mengarah pada tirani. Sehingga para filsuf seperti Plato sekalipun
tidak terlalu antusias mendukung ide demokrasi yang diambil dari akar kata, demos (rakyat) dan –kratein (memerintah), karena sangat tidak mungkin menciptakan
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tanpa menimbulkan konflik. Pemerintahan mengacu pada kehendak rakyat
dikatakan sebagai bentuk demokrasi tradisional atau klasik.
Dalam
Capitalism, Socialism, and Democracy,
Schumpeter mengatakan kekurangan
teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak
rakyat (the will of the people) dan
sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Schumpeter
kemudian mengusulkan “teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi”
memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yand di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan
berupa suara rakyat. Demokrasi pada
taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan
pada akal sehat.
Konsep
demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter
dikemukakan, perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep
paling beragam dalam ranah akademis.
Berbagai studi mengenai demokrasi dalam ilmu politik dan sosiologi
cenderung untuk menilainya dari sudut pandang berbeda-beda. Demokrasi tidak memiliki tolak ukuran pasti
dalam pengukurannya karena membutuhkan konsensus baik dalam lingkup publik
maupun akademik sekalipun. Sebagai contoh, pemerintahan Amerika Serikat yang
memiliki agenda utama dalam mempromosikan demokrasi dalam kebijakan luar
negerinyapun ternyata belum memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.[1]
Karena itulah demokrasi masih menimbulkan perdebatan terutama dalam
penerapannya di negara-negara berkembang.
Menurut
Donald Horowitz (2006), “the world’s
only superpower is rhetorically and militarily promoting a political system
that remains undefined-and it is staking its credibility and treasure on the
pursuit,” (negara superpower satu-satunya di dunia secara retorik dan
militeristik mempromosikan sistem politik yang tetap tidak terdefinisikan
sampai saat ini-dan hal tersebut mempertaruhkan kredibilitas dan sumber daya
teramat berharga demi mencapai maksudnya)[2]. Sehingga, pengertian demokrasi di berbagai
belahan dunia merujuk pada penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami
distorsi makna. Demokrasi dapat
dipertukarkan dengan pengertian sangat sempit semisal voting atau pemilihan
umum semata, padahal demokrasi sebagai suatu konsep memiliki pengertian lebih
luas. Karena pencitraan demokrasi di AS
sedemikian absurd-nya sehingga
dikatakan bahwa demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara Eropa Barat
dan AS terhadap negara-negara lainnya di dunia, maka perlu didefinisikan kembali
karakteristik dari demokrasi.
Demokrasi
sering dipertukar-maknakan dengan kebebasan, sehingga dapat dipergunakan
keduanya sekaligus. Demokrasi bisa
dilihat sebagai satu perangkat praktek dan prinsip yang sudah dilembagakan dan
selanjutnya melindungi kebebasan itu sendiri.
Demokrasi semestinya melibatkan konsensus di dalamnya, namun secara
minimal persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari
suara mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan
pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak
asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan
pluralisme politik.[3] Karakteristik dasar demokrasi seperti telah
disebutkan di atas membukakan pandangan bahwa inti dari demokrasi adalah
kebebasan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Artinya demokrasi
tidak hanya sekedar melibatkan kebebasan masyarakat dalam sistem politik, akan
tetapi lebih dari itu sampai dengan tata cara melibatkan rakyat dalam demokrasi.
Beberapa
pihak mengatakan bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara
demokrasi dan bukan demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti
halnya ukuran dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS,
Freedom House, dengan indeks
rata-rata, skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai dari:
- Political
freedom atau kebebasan politik (10 indikator),
- Civil
liberties atau kemerdekaan warga negara (15
indikator), seringkali dijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
Selain
itu Freedom House memiliki konsep
sempit mengenai electoral democracy, yaitu
demokrasi dalam arti sangat minimal paling tidak memiliki karakteristik:
- Sistem politik multi-partai kompetitif,
- Hak pilih setara bagi orang dewasa,
- Pemilihan umum dilaksanakan secara
reguler, dijamin dengan pemberian suara secara rahasia, terjamin
keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada pemilu,
- Akses publik terhadap partai politik
besar sampai ke pemilihnya sangat terbuka melalui media dan melalui
kampanye terbuka.
Sedangkan
definisi political freedom lebih luas
daripada electoral democracy, yaitu
mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana
memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi. Political freedom akan memberikan warna pada
tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat, sehingga tidak ada demokrasi
di satu negarapun dapat disamakan dengan negara lain.
Perbedaan
kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist dan thick atau wider tentang demokrasi.[4]
Sehingga definisi demokrasi lebih luas harus memperhitungkan aspek kondisi
masyarakat dan budaya politik dari masyarakat demokratis. Definisi sempit tersebut lebih merupakan
pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8 ciri:
- hampir semua warga negara dewasa
memiliki hak pilih,
- hampir semua warga negara dewasa dapat
menduduki kantor publik,
- pemimpin politik dapat berkompetisi
untuk memperebutkan suara,
- pemilihan umum harus bebas dan fair,
- semua penduduk memiliki kebebasan utuk
membentuk dan bergabung dalam partai politik dan organisasi lainnya,
- semua penduduk dapat memiliki kebebasan
mengekspresikan pendapat politiknya,
- informasi mengenai politik banyak
tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan
- kebijakan pemerintah bergantung pada
suara dan pilihan-pihan lain.
Sehingga
suatu negara sudah dapat dikatakan demokratis apabila memiliki karakteristik:
- Pemerintahan sipil yang dipilih secara
bebas, jujur, dan adil dalam pemilu,
- Perwakilan yang representatif,
- Publik yang bertangung jawab dan dijamin
kebebasannya dalam peraturan perundangan.
Menurut
Gabriel Almond (1999), partisipasi politik diawali oleh adanya artikulasi
kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber daya politik
seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang dictator
militer. Peran mereka sebagai aggregator
politik (penggalang/penyatu dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk
partisipasi politik selanjutnya.
Bangsa
besar memiliki bangunan organisasi yang telah terspesialisasi dalam menyalurkan
bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait menghasilkan partai politik.
Oleh
karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999) terbagi ke dalam 3
kategori seperti ilustrasi berikut ini:
Sedangkan
Huntington dan Nelson mengatakan bahwa tidak ada bentuk partisipasi politik
yang digambarkan sebagai “No Easy Choice,” membaginya menjadi 2 macam
partisipasi:
- Otonom (autonomous participation)
- Mobilisasi (mobilized participation)
Mereka
mengatakan bahwa keterasingan seseorang dalam partisipasi politik yang
disebabkan oleh rasa apatis (ketidakpedulian) dapat menyebabkan alienasi
(keterasingan) politik.
David
F. Roth dan Frank L. Wilson (1980) menstrukturkan partisipasi politik ke dalam
piramida partisipasi sebagaimana ilustrasi berikut:
Bentuk
umum dari partisipasi politik adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum
(pemilu). Bentuk partisipasi politik
paling minim seperti ini dapat dijumpai pada sistem politik demokratik sampai
paling otoritarian sekalipun.
Adapun
bentuk-bentuk partisipasi politik yang ada pada sistem politik terbagi menjadi
level atau derajat pemberian partisipasi seperti tergambar pada tebel berikut:
Tabel 1. Bentuk dan Derajat Partisipasi
Politik Almond
BENTUK
|
RUANG LINGKUP
|
DERAJAT
|
Voting (pemberian suara)
|
Luas, keputusan pemerintah
|
Sedang
|
Informal Group (kelompok informal)
Social Movement (pergerakan sosial)
|
Aktivitas kolektif, kebijakan umum
|
Tinggi
|
Direct Contact (kontak langsung)
|
Spesifik, urusan personal/pribadi
|
Rendah
|
Protest Activity (aktivitas protes)
|
Ekspresif, urusan spesifik
|
Tinggi
|
Sumber: Almond (1999)
Sebagai
perbandingan bentuk dan derajat partisipasi politik di berbagai negara pada
tahun 1990 – 1993:
- Amerika
Serikat – 49%
- Jerman
Barat – 82%
- Inggris
– 72%
- Perancis
– 68%
- Uni
Soviet – 64%
Alexis
de Tocqueville, seorang ahli masalah demokrasi Amerika Serikat berkebangsaan
Perancis, mengakui bahwa aktivitas ‘grass root’ (akar rumput/rakyat jelata)
merupakan fondasi dari demokrasi, namun sekarang sudah berubah menjadi ‘middle
class’ (masyarakat kelas menengah).
Marti
Seymour Lipset (1960) memberikan tingkatan sosial dan pemilu, menggambarkan
bagaimana tingkat partisipasi politik suatu masyarakat dapat berbeda-beda,
sebagai berikut dalam tabel 2:
Tabel
2. Karakteristik Tingkat Sosial dan Pemilu
KATEGORI
|
TINGGI
|
RENDAH
|
Pendapatan
|
Tinggi
|
Rendah
|
Pendidikan
|
Tinggi
|
Rendah
|
Pekerjaan
|
White Collar Works
|
Blue Collar Works
|
Ras
|
Putih
|
Hitam
|
Kelamin
|
Pria
|
Wanita
|
Umur
|
35-55 Dan 55-Ke Atas
|
<35
|
Situasi
|
Krisis
|
Normal
|
Status
|
Kawin
|
Belum Kawin
|
Organisasi
|
Anggota
|
Tidak Anggota
|
Sumber:
Rafael Raga Maran (2007)
Sedangkan
bila berbicara mengenai agregasi kepentingan, maka Almond menggambarkannya ke
dalam bentuk paling kasat mata yaitu partai politik, mensyaratkan adanya
sosialisasi politik dan rekrutmen politik.
Kemudian bentuk umum yang ada yaitu patron-client network dengan
struktur dimana pemegang kekuasaan berada di kantor pusat, merupakan figure
berwenang memberikan keuntungan pada pemilih sebagai imbalan kesetiaan
mereka. Negara-negara yang menganut
sistem patron-client umumnya berada di kawasan Asia misalnya: Indonesia,
Filipina, Thailand, Jepang, dan India.
Bentuk umum di negara Barat terdiri dari asosiasional dan institusional
dengan sistem kepartaian yang kompetitif.
Di
Indonesia, partisipasi politik masyarakat masih terfokus pada penggunaan saluran
penyaluran aspirasi politik melalui pemilihan umum. Partai politik masih dipandang memberikan
satu-satunya wadah penampungan aspirasi politik ketimbang sarana-sarana
penyaluran lainnya. Sungguhpun demikian,
masyarakat Indonesia telah belajar banyak dari proses demokrasi yang
diperkenalkan sejak tahun 1998, pasca runtuhnya Orde Baru.
Perkembangan iklim
politik Indonesia setelah jatuhnya rejim Soeharti tidak menampakan perbaikan
semakin mengkhawatirkan. Rakyat kembali turun ke jalan dengan berbagai macam
bentuk ungkapan kekesalan. Mulai dari
unjuk rasa buruh, perusakan fasilitas publik akibat kekecewaan rakyat pada
hasil pilkada semisal di Tuban, sampai protes terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah di daerah Banten dan Banyumas, kesemuanya berujung pada kerusuhan
massa. Ironisnya, elit pemerintah rupanya terlanjur memiliki kebiasaan tidak mendidik untuk menuding
ketidakdewasaan rakyat berdemokrasi sebagai biang keladi kerusuhan, tanpa
berani menunjuk siapa di balik semua itu.
Sungguh berbahaya apabila para elit dan pendidik bangsa menyikapi
kerusuhan dengan melemparkan kesalahan pada segelintir pihak, berusaha bersikap
arif di mulut lain di perbuatan, ataupun lebih parah lagi diam seribu
bahasa. Kenyataannya demonstrasi sebagai
alat demokrasi sudah semakin liar, korbanpun telah berjatuhan, sarana publik
telah rusak, demokrasi sudah kebablasan!
Sudah waktunya kita bertanya apakah benar kerusuhan timbul akibat kurang
dewasanya rakyat dalam berdemokrasi ataukah semata-mata akibat kegagalan
pendidikan politik, yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah? Mungkin
ada baiknya kita bersama menyimak sejarah perjalanan demokrasi bangsa dan
negara Republik Indonesia dengan mempertimbangkan kembali kesepakatan bersama
akan demokrasi yang kita tuju, tak terkecuali pemerintah dan segenap rakyat
Indonesia. Anggaplah kesepakatan sudah terjadi, pertanyaan selanjutnya adalah
apa kita siap menanggung segala efek samping dari penegakkan demokrasi
tersebut? Uraian di bawah ini akan menyajikan pandangan akan “kebablasannya”
demokrasi yang mungkin diakibatkan oleh faktor kegagalan kita dalam memahami
demokrasi dan akibatnya.
Mendefinisikan Demokrasi di Indonesia
Menurut majalah
terbitan Amerika Serikat, The Economist,
edisi Desember 2004, umur penegakkan demokrasi di Indonesia tidaklah lebih dari
enam tahun sejak jatuhnya rejim diktator Orde Baru digantikan oleh SBY-JK,
sebagai pasangan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Sebagai anak bangsa, sewajarnyalah kita
bersedih ketika demokrasi di Indonesia masih dianggap seperti “anak
ingusan”. Namun kenyataan harus kita
terima, perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang. Dengan demikian, rasanya
sangatlah tidak adil jika kesalahan serta merta ditimpakan pada satu pihak,
semisal rakyat bila terjadi mental
breakdown dalam proses menuju demokrasi.
Toh, kita semua sedang dalam tahap belajar berdemokrasi.
Agaknya pemerintah
perlu mawas diri karena mungkin penegakkan demokrasi di negara kita belum
memperhatikan prasyarat bangunan demokrasi tradisional seperti halnya konsensus
atau social contract ala John Locke,
dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Tentunya semua pihak perlu memahami bahwa demokrasi
seperti ini tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan, karena hanya
kepentingan mayoritas tertentu yang terwakili.
Kalaupun semua pihak harus terpuaskan, apa jadinya bentuk demokrasi
nantinya. Bisa-bisa demokrasi akan “mati” ketika semua pihak turun ke jalan dan
memaksakan kehendaknya karena merasa benar.
Dapat dibayangkan, bila demokrasi terakhir ini yang kita anut, negara
ini bisa babak belur karena tidak ada yang memimpin, semua merasa berhak
memimpin atas nama demokrasi. Celakanya, gejala ini sedang melanda Indonesia.
Hendaknya tekanan
dunia internasional untuk berdemokrasi dikesampingkan terlebih dahulu. Demokrasi ala barat atau Western democracy yang mengedepankan besarnya antusiame rakyat
mengikuti pemilihan umum, pemilihan kepala pemerintahan secara langsung, tumbuh
suburnya partai-partai politik, mengagungkan kebebasan berpendapat, lembaga
peradilan yang ajeg, penegakkan hak asasi manusia, dan pers yang bebas
(bertanggung jawab), mendatangkan bias terhadap
kualitas demokrasi itu sendiri.
Akibatnya kesuksesan penegakkan demokrasi di Indonesia tidak dibarengi
dengan kesuksesan pemahaman akan arti demokrasi pada tingkat grass root.
Efek Samping Demokrasi
Proses penegakkan
demokrasi di Indonesia ternyata membawa efek samping yang justru membahayakan
kesatuan bangsa, mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut Jack Snyder (2001),
demokrasi yang dipaksakan pada suatu negara yang sebelumnya masih belum “hijau”
berdemokrasi, menekankan keberadaan lembaga-lembaga seperti disebutkan di atas,
akan berimbas negatif seperti timbulnya kekerasan politik. Ted Robert Gurr
dalam Why Men Rebel (1961)
menyebutkan bahwa kekerasan politik dapat disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat
akan saluran-saluran politik yang ada. Sejalan dengan pendapat Gurr, Huntington (1968) yang berargumen bahwa
kesenjangan antara keinginan dan kenyataan pada proses modernisasi berdampak
pada ketidakstabilan politik. Alhasil, demokrasi yang dipaksakan hanya
akan mengembalikan pemerintahan yang tidak mau tahu apa yang diinginkan
rakyatnya alias otoritarian. Apabila
pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, bukan mustahil akan lebih banyak lagi
korban berjatuhan di kalangan rakyat akibat timbulnya kekerasan politik sebagai
efek samping penegakkan demokrasi.
Proses
pendemokrasian rakyat semestinya ditunjang keberadaan saluran-saluran politik
yang mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Rakyat bukanlah aktor politik, elit
penguasalah yang bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran politik
yang legitimate sekaligus mendidik
rakyatnya berdemokrasi. Bila tidak terpenuhi, wajar saja rakyat menuntut
haknya. Dengan demikian lembaga-lembaga yang ada mungkin harus diredefinisikan
kembali sejalan dengan aspirasi rakyat.
Bercermin ke
belakang bukan berarti meruntuhkan bangunan lembaga-lembaga demokrasi yang ada,
justru diperlukan kearifan untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga demokrasi
tradisional seperti halnya konsensus dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu, ada baiknya semua pihak berusaha merendahkan hati dan membuang kebiasaan
negatif menyalahkan orang lain demi memperbaiki kesalahan pada proses demokrasi
yang kita anggap sebagai kesepakatan bersama.
[2] Horowitz, Donald,
2006, p. 114.
[3] Kekic, Laza (2007)
[4] Coppedge (2005).
[5] Gabriel A. Almond, G.
Bingham Powell, Jr., K. Strom, and R. J Dalton, Comparative Politics Today: A
World View, Seventh Edition (New York: Longman, Inc., 1999), p.
[6] Miriam Budiardjo, Partisipasi Politik
(Jakarta: PT. Gramedia, 1998)